Apa kamu masih suka menulis catatan harian di buku diari? Atau, apa kamu masih punya buku diari?
Rasanya tidak banyak lagi dari kita yang menulis di buku diari. Barangkali yang tersisa sebagian adalah kenangan; buku diari itu mungkin masih ada, dan kita menjenguknya sesekali, membalik-balik halamannya, membaca kalimat-kalimat kita sendiri di situ, lalu tersenyum, mengenang bahwa kita pernah begitu sentimentil dan sangat pribadi.
Kemana kebiasaan itu sekarang? Kehadiran media sosial facebook dan twitter agaknya telah menggantikan peran buku diari. Dengan facebook dan twitter, siapa saja bisa menuliskan apa saja. Kita mengeluh, mengumpat, memaki, mencandai sesuatu, dan terkadang mensyukuri hal-hal keseharian. Dengan memposting "apa yang anda pikirkan" itu, kita lalu lebih suka dan berharap dibaca dan dikomentari, atau paling tidak menunggu tanggapan. Semua orang sepertinya perlu tahu apa yang kita rasakan, yang kita pikirkan. Kita begitu butuh didengar, diperhatikan, walau pun terkadang kita juga merasa terganggu dengan komentar dan pendapat orang lain.
Apa yang salah dengan itu? Tak ada barangkali. Setidaknya, kita tidak merasa sendirian. Toh, di dalam "negara" twitter dan facebook, kita sudah menjadi bagian dari kumpulan. Hanya saja, ada yang sepertinya hilang dari diri kita; betapa kita itu unik dan sebenarnya misterius.
Tapi, barangkali saya salah. Zaman, toh, sudah berubah. Orang membutuhkan cara lain dan media lain untuk bicara dan menyampaikan pikiran.
Barangkali ini perasaan sentimentil saya saja setelah membaca lagi buku catatan harian Ahmad Wahib ("Pergolakan Pemikiran Islam"), dan "Catatan Seorang Demonstran" nya Soe Hok Gie. Siapa tahu anda juga sedang membaca buku-buku itu, atau catatan harian Anne Frank barangkali, saya sampaikan selamat mendapatkan inspirasi dan terus menulis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H