Carpe Diem! Seize the Day! Raihlah kesempatan! Jadikan hidupmu luar biasa. Kalimat ini menyihir sekelompok anak muda di Akademi Welton, Amerika Serikat. Akademi Welton adalah sekolah asrama khusus laki-laki yang mengajarkan kepada seluruh siswanya empat semboyan sebagai pilar pendidikannya; tradisi, kehormatan, disiplin, dan prestasi. Adalah John Keating, guru bahasa Inggris yang cerdas membukakan imajinasi Todd Anderson, Neil Perry, dan kawan-kawannya lewat puisi. Kekuatan kata-kata Henry David Thoreau, Walt Whitman, Shelley, Byron, dan Frost yang disajakkan Keating di depan murid-muridnya, memberikan pengalaman baru bagi mereka. Apa yang terjadi kemudian adalah sebuah transformasi. Anak-anak yang semula hidup dalam tertib dan takut, dengan puisi mereka jadi tahu hal-hal yang lebih dahsyat dan asyik. Anak-anak muda itu terbawa masuk ke dalam mantra kata-kata. Mereka tak takut lagi menjelajah, menemukan impian, cita-cita, dan keunikan pribadi masing-masing. "Kebutuhan yang amat besar dari kita semua untuk diterima, namun kalian harus percaya betapa unik atau berbedanya kalian. Bahkan jika itu janggal atau tidak populer. Carpe Diem! Seize the Day!," kata Keating menyemangati murid-muridnya. Sekolah kemudian menjadi sesuatu yang tak lagi menarik. Bukan karena tak ada harapan. Tapi, lebih disebabkan sekolah terlalu mengungkung dan tak memberi kesempatan bagi keunikan pribadi mereka. Anak-anak muda itu segera menghambur ke alam imajinasi, berkumpul dalam gelap hutan yang basah, membaca puisi, menghidupkan kembali Dead Poets Society - sebuah kelompok rahasia yang terbebas dari tekanan dan harapan pihak sekolah dan orangtua. Begitulah saya mengingat film Dead Poets Society (Touchstone Picture, 1989), dan adaptasi novelnya yang ditulis N.H. Kleinbaum (1989). Dibintangi aktor Robin Williams dan Ethan Hawke, film yang disutradarai Peter Weir dan naskah skenarionya ditulis Tom Schulman ini meraih empat penghargaan Oscar sekaligus, salah satunya untuk naskah film terbaik. Film ini ramai diperbincangkan di sekitar pengujung tahun 80-an karena mengangkat isu kebebasan dalam dunia pendidikan. Dead Poets hadir seolah untuk menyentil kebebalan sistem sekolah yang hanya menerapkan rasa takut, pemaksaan, dan wewenang semu. Ia juga seperti ingin menggugat otoritas para orangtua yang seringkali mengabaikan keunikan pribadi anak-anak dan keingintahuan mereka. Film ini dianggap sebagai karya yang jujur karena tak berakhir dengan kemenangan. Dengan begitu, Dead Poets setidaknya mengingatkan tentang tujuan akhir proses pendidikan, yakni memanusiakan manusia (humanisasi) - meminjam Paulo Freire - yang berarti pemerdekaan atau pembebasan manusia dari situasi yang menindas. Tentu saja bukan asal kebebasan yang semau gue, melainkan kebebasan yang melahirkan individu-individu kreatif dan inovatif, individu-individu yang lebih baik, yang tidak tergerus oleh perubahan dan kerasnya zaman untuk mati begitu saja. Bagi saya, Dead Poets menjadi inspirasi, salah satu yang menginsipirasi, tentang betapa berbeda dan uniknya individu. Dead Poets juga menjadi motivasi dan pengingat terus menerus tentang bagaimana semestinya keberbedaan tidak mesti mengganggu, tapi membebaskan. [caption id="attachment_202635" align="alignright" width="461" caption="http://www.movieposter.com/poster/MPW-19331/Dead_Poets_Society.html"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H