Ujian Nasional (UN) 2014 kali ini nampak sepi dari hiruk pikuk pemberitaan, terkecuali masalah soal yang memuat Jokowi, yang memberbeda dengan tahun lalu yang terjadi kekisruhan dalam pendistribusian naskah soal, barcode, hingga permintaan maaf, Prof. Dr. M. Nuh, sang menteri pendidikan, atas kejadian tersebut padahal anggaran yang dikeluarkan sudah sangat besar hingga menyentuh 644 milyar rupiah.
Entah karena seluruh berita dimonopoli oleh pemilu legislatif dan analisis mengenai capres dan wakilnya, atau bisa jadi, publik lelah mempersoalkan UN, menyusul tidak diturutinya keputusan Mahkamah Konstitusi terkait moratorium UN bila pemerintah belum dapat menyamakan kualitas pendidikan dari Sabang hingga Merauke. Jika minimnya pemberitaan disebabkan persiapan pemerintah yang lebih matang dibandingkan tahun lalu dan juga publik memafhumi UN sebagai sebuah proses evaluasi yang niscaya dan biasa, maka ini kabar baik bagi dunia pendidikan kita. Namun, kabar buruknya adalah jika publik sudah apatis dengan kebijakan ini, yakin siswa lulus seratus persen dengan mengabaikan substansi pendidikan: kompetensi siswa dan kualitas pendidikan. Bila yang terakhir ini terjadi, pendidikan kita tengah mengalami kebangkrutan.
UN Di Tengah Pusaran Kepentingan
Perlu disepakati terlebih dahulu bahwa UN seharusnya bukanlah cerminan kualitas pendidikan di daerah sehingga menjadi jualan politik para kepala daerah. Melainkan suatu proses evaluasi yang niscaya dan melekat dalam kebijakan pendidikan. Sehingga hasil berikutnya, apapun itu, menjadi pijakan program pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Dalam bahasa manajemen mutu terpadu (TQM), Salis (2002) menyebutnya sebagai external examination, yang dilakukan oleh konsumen eksternal pendidikan, dalam hal ini pemerintah, terhadap satuan pendidikan. Walhasil ia selazimnya steril dari kepentingan politik.
Bahkan dalam konteks mikro pendidikan, secara konseptual sebuah evaluasi yang baik adalah saat ia mampu mengukur kompetensi-kompetensi yang sudah diajarkan sebelumnya (Brown, 2004:23). Dari sinilah Brown (2004:98) menyatakan bahwa evaluasi yang memadai adalah evaluasi yang dilakukan oleh guru di dalam kelas, bukan oleh pihak lain. Ini dikarenakan evaluasi menunjukkan siswa mana yang sudah dianggap mampu memahami materi yang diajarkan dan siswa mana yang perlu dilakukan terapi (remedial). Tujuannya adalah sebagai upaya untuk membantu siswa memahami materi yang diajarkan. Berdasarkan evaluasi ini pulalah guru secara kreatif melakukan berbagai teknik-teknik pengajaran yang tujuannya untuk memudahkan siswa memahami materi yang diajarkan.
Perdebatan yang selalu muncul selama ini terkait dengan dijadikannya UN sebagai syarat kelulusan, yang seharusnya menjadi kewenangan pendidik. Tidak hanya itu, jumlah siswa yang lulus pun menjadi diklaim sebagai mutu pendidikan. Bila siswa seratus persen lulus, sekolah seakan mendukung citra politik kepala daerah, dan sebaliknya, bila tidak seratus persen, maka sekolah dianggap “menghambat” kepemimpinan sang kepala daerah. Cerita selanjutnya dapat ditebak, hukum stick and carrot terjadi. Ada yang siap-siap promosi, dan ada yang akan dimutasi baik di SKPD hingga ke sekolah.
Karena sudah jauh bergeser dari yang semestinya, terjadilah pensakralan UN. Ia dianggap hakim yang siap memvonis bersalah atau bebas, lulus atau tidak. Pendidikan pun kehilangan ruhnya sebagai pembentuk peradaban dan mengajari berpikir tingkat tinggi (high order thinking skill) (Sanusi, 2013).Softskills kejujuran yang biasanya menjadi nafas dan nadi pendidikan, nampak di pause sesaat, digantikan ketidakjujuran dan manipulasi. Tentulah yang menjadi korban adalah siswa. Korban secara psikologis, tertekan oleh sebuah ujian yang seharusnya menjadi bagian yang melekat dalam dirinya. Korban secara intelektual, diajarkan hal-hal instan dalam menjawab pertanyaan, bukan melalui proses inkuiri atau bahkandiscovery.
Di lihat dari situasi ini saja, jelas UN telah kehilangan legitimasi kevalidannya. Apa yang dapat kita baca saat satu daerah lulus 100 (seratus) persen UN? Apakah dengan 100 persen ini kita meyakini pendidikan di daerah tersebut telah berkualitas (baca: memuaskan kebutuhan masyarakat dan penggunanya)? Ataukah kita hanya tersipu-sipu malu bahwa 100 persen ini jauh panggang dari api? Bila benar, maka kritikan Ivan Illich dalam bukunya yang provokatif, Deschooling (1970:23), perlu direnungkan bahwa institusi sekolah hanyalah menjadi perpanjangan tangan penguasa, sekolah hanya menguntungkan profesi guru karena membuka lapangan pekerjaan baginya, tapi tidak bagi masyarakat. Sehelai Surat Keterangan Hasil Ujian Nasional (SKHUN) tidak memiliki nilai substansi bagi siswa, karena ia hanya artifisial, bukan gambaran hakiki kompetensinya.
Dalam konteks ini, mengikuti UN secara serius adalah wajib, namun lulusnya UN bukan menjadi tujuan tunggal. Ia justru gerbang awal dari sebuah tantangan berikutnya. Mampukah kompetensi yang dimiliki menjawab segala macam kebutuhan dalam ujian kehidupan? Seorang siswa yang lulus SMA dan akan melanjutkan ke perguruan tinggi, kompetensi, baik softskill maupun hardskill, yang diajarkan sejak SD hingga SMA seharusnya mendukung minat dan perkembangan belajarnya di sekolah tinggi. Ia mampu bersaing dengan jujur dan tentunya, ia akan menjadi manusia yang tercerahkan, tidak menjadi beban masyarakat. Begitu pula, siswa SMK yang memilih kerja seharusnya meyakini bahwa kompetensi yang ia latih selama di sekolah menjadi bekal untuk mencari penghidupan. Ia mampu berkompetisi di dunia kerja.
Kekhawatiran terbesar yang seharusnya muncul di kalangan pendidik adalah bila mereka gagal mewariskan ilmu, nilai (values) dan cara pandang yang bermanfaat dunia dan akhirat kepada para siswanya. Pewarisan ilmu ini seharusnya terjadi dalam proses pendidikan di sekolah secara efektif. Interaksi pendidik dan siswa seharusnya berwujud silaturahmi akademik dan kepribadian. Dengan fitrah mulia yang dimiliki sebagai manusia, potensi siswa dapat dikembangkan. Jika siswa dari kota-kota besar mampu melewati UN dengan sukses, tanpa keberadaan tim sukses, maka itu seharusnya terjadi pulapada siswa di kota-kota kecil, mengingat standar proses, kurikulum dan pendidiknya sama. Jangan sampai, kritikan dan gugatan terhadap UN yang didengungkan oleh pendidik hanya sebagai pengalihan dari tidak berkualitasnya pelayanan pembelajaran di dalam kelas. Apalagi, secara realitas UN tetap bergulir, sehingga tidak ada pilihan lain bagi pendidik mengkualitaskan pelayanan pembelajaran di sekolah.
Terobosan
Tentunya siapapun pasti berbangga, apalagi pendidik, bila seluruh siswanya mampu melewati UN dengan sukses. Pemerintah daerah dan pusat pun akan puas saat program-programnya tepat sasaran. Artinya, UN sewajibnya diperlakukan sama oleh pemerintah pusat dan daerah, sebagaimana lazimnya evaluasi dalam pendidikan, semisal ulangan harian, ulangan umum, akreditasi sekolah, Ujian Kompetensi Guru, Penilaian Kinerja Guru atau benchmarking yang mampu mengevaluasi sekolah atau pendidik secara apa adanya. Hasil evaluasi tersebut tentunya tidak selalu berakhir dalam pendekatan rewards and punishment, melainkan lebih ke upaya perbaikan yang terus menerus (a continuous quality improvement).
Perlu terobosan, khususnya bagi pemerintahan baru ke depan, bila UN tetap ingin dipertahankan sebagaisalah satu bentuk evaluasi pendidikan, diantaranya, pertama, UN dapat dilakukan seperti evaluasi dalamsistem Cambridge, dimana siswa diperbolehkan mengikuti UN sejak di bangku kelas VIII untuk SMP dan XI untuk SMA. Bila ia lolos, maka ia tinggal menyelesaikan ujian sekolah di bangku tingkat akhir. Bila ia gagal, ia bisa mencoba lagi hingga kelas IX SMP atau XII SMA. Namun perlu diperhitungkan persentase muatan soal yang akan di uji, sehingga siswa kelas VII atau XI dapat menjawab soal-soal yang nanti akan diperdalam di kelas IX atau XII.
Kedua, kemendikbud secara ikhlas menyerahkan seluruh penyelenggaraan UN dari mulai pembuatan soal hingga hasilnya ke tingkat daerah dan secara supportive menerima hasil UN dari daerah, sebagai bagian dari semangat otonomi daerah dan penerapan manajemen berbasis sekolah (MBS). Penetapan kelulusan siswa berada di tingkat pemerintah daerah. Meski demikian, kemendikbud tetap memegang kewenangan dalam penyusunan standar evaluasi dan keputusan, yang pada tahap selanjutnya hasil ini akan ditindaklanjuti oleh program-program kemendikbud yang sesuai dengan kebutuhan di setiap daerah.
Ketiga, pelaksanaan UN tetap seperti saat ini, namun dengan jenis soal berbasis masalah sebagaimana yang disarankan oleh Prof. B.J. Habiebie, bukan jenis soal berganda dengan jawaban tunggal. Jenis soal berbasis masalah akan mengukur aspek-aspek seperti rhetoric dan logic, selain sisi kreatif, yang selama ini hanya mengukur kepada ranah kognitif.
Namun demikian, pra-syarat utama dari terobosan ini adalah lagi-lagi berujung pada kerelaan menteri hingga kepala daerah untuk tidak menginfiltrasi persoalan dan kepentingan politik dalam evaluasi ini. Hitam atau merah rapot pendidikan di suatu daerah, tidak dibawa ke ranah elektabilitas politik. Melainkan ditujukan untuk perbaikan, sehingga seluruh siswa yang lulus sekolah dapat dipastikan berkualitas dan memiliki dampak yang baik bagi masyarakat. Wallahu’alam bishawwab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H