Mohon tunggu...
Denny Kodrat
Denny Kodrat Mohon Tunggu... Lainnya - Universitas Sebelas April

Praktisi pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ahok dan Bahasa Santun

23 Maret 2015   19:28 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:11 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Publik seketika terkesiap ketika di ranah publik seorang Basuki Tjahya Purnama, gubernur DKI, yang akrab disapa Ahok, berulang kali mengucapkan kata kotoran tanpa sensor, meski diingatkan oleh reporter KompasTV bahwa Ahok tengah melakukan siaran langsung. Peringatan itu tidak digubris Ahok, bahkan seperti tertantang, Ahok kembali mengulang-ulang kata kotoran tersebut, menyitir pembahasan RAPBD yang deadlock.
Urusan RAPBD dengan berbagai intriknya biarlah bergulir secara politis antara eksekutif dan legislatif, publik cukup menonton dan menilai sebagai portofolio untuk pemilu kada ke depan. Sementara itu, publik seharusnya terusik ketika kata-kata “sampah” dihadirkan begitu rupa oleh pemimpinnya, terlepas itu merupakan metafora dari kondisi bobroknya para anggota dewan menurut Ahok atau memang merupakan representasi letupan amarah yang tidak bisa dikendalikan oleh Jakarta satu ini. Terusik dilihat dari beberapa aspek. Pertama, aspek sosiologis, Jakarta sebagai ibukota negara yang hampir seluruh suku bangsa berkumpul di sana bisa jadi memiliki karakter heterogen dibandingkan kota-kota besar di Indonesia. Heterogenitas Jakarta tentunya tidak bisa diklaim sebagai pembenar bagi kepala daerah untuk berbicara mana suka, tidak mengenal batasan etika. Bahkan sebaliknya, sebagai ibukota negara, ia menjadi cermin besar dan gambaran utuh masyarakat Indonesia. Bila barometer politik selalu berkiblat kepada Jakarta, maka etika sosial pun sudah semestinya merujuk kepada Jakarta pula. Oleh karenanya, meski Jakarta bisa disebut daerah dengan multikultural, namun nilai-nilai ketimuran dan kesantunan menjadi pengikat dan guidelines yang muncul di Batavia ini.
Kedua, aspek politis. Ahok, meski saat ini tidak berpartai, sejatinya sudah melebur dalam framework Jokowi. Sehingga, publik tetap menisbahkan bahwa Ahok adalah Jokowi dan Jokowi adalah Ahok. Saat Jokowi menjadikan “revolusi mental” sebagai tagline kampanyenya, maka publik Jakarta memberikan ekspektasi lebih kepada Ahok untuk turut mendukung program revolusi mental tersebut. Walhasil, beberapa tindakan Ahok, yang dinilai secara birokratik tidak lazim seperti memarahi pejabat walikota atau esalon di depan publik atau bahkan bertengkar dengan masyarakatnya sendiri, atas nama revolusi mental dianggap publik sebagai langkah terobosan untuk mengurai peliknya mengelola Jakarta. Kata-kata Ahok semisal, “makan gaji buta”, “bajingan”, “saya pecat” ditafsirkan oleh publik sebagai ekspresi revolusi mental untuk perubahan yang baik, jauh dari kesan kotor dan tidak lazim. Namun publik lupa bahwa seorang pejabat publik secara inheren memiliki kapasitas sebagai role model, panutan. Setiap tindak-tanduknya akan menjadi bagian sejarah panjang peradaban tidak hanya bagi manusia Jakarta, tapi juga manusia Indonesia. Bisa dibayangkan, di era komunikasi yang sangat masif ini, siapapun baik tua maupun muda, bahkan anak-anak, dapat mengakses secara mudah apa yang telah dan sedang terjadi. Tontonan wawancara live Ahok ini dapat ditonton kapanpun dan dimanapun oleh semua kalangan. Tentu saja, bila revolusi mental diterjemahkan bahwa semua orang dapat berkata-kata kasar dalam konteks apapun, tanpa melihat ruang publik ataukah bukan, dengan siapa ia berbicara dan dalam kapasitas apa, maka revolusi mental telah gagal dalam mewariskan apa yang sering disebut sebagai kearifan budaya lokal. Tentu saja, siapapun akan sepakat bahwa makna kearifan budaya lokal adalah produk-produk budaya lokal yang santun, beradab dan layak tidak hanya digali namun juga dilestarikan. Tidak sebaliknya. Berbicara kotor, kasar, mengekspresikan simbol-simbol kekuasaan sehingga cenderung menindas (oppress).
Ketiga, aspek edukasi. Pemerintah saat ini tengah menggalakan apa yang disebut dengan pendidikan karakter. Berkali-kali dalam kesempatan berbeda Menteri Kebudayaan dan Pendidikan Dasar dan Menengah menegaskan pentingnya pendidikan karakter bagi para siswa. Karenanya, apa yang dilakukan Ahok adalah langkah mundur ke belakang, tidak mendukung program pemerintah. Kerancuan berpikir bila mengatakan lebih baik berkata kotor namun tidak korup, dibandingkan berkata halus tetapi korup. Karena, korup dan berkata santun adalah dua hal yang berbeda. Terlebih lagi contoh yang disodorkan Ahok bukanlah opsional, dalam konteks pejabat publik. Sebagai pejabat publik tentunya ia harus bersih, tidak korup, dan berkata santun, memenuhi etika. Alangkah aneh sejatinya, saat pemerintah mengeluarkan PP No. 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS, namun ia sebagai Pembina tertinggi PNS daerah steril dari aturan tersebut. Alih-alih memberikan contoh yang baik, malah sebaliknya, tidak pandai mengendalikan emosi dan perkataan.

Bahasa Santun
Bangsa ini sudah banyak menerima kritikan sebagai bangsa yang tidak berperadaban dilihat dari etos kerja yang rendah, kualitas sumber daya manusia yang tidak kompetitif hingga carut-marut kepastian hukum. Anak bangsa ini pun mengalami degradasi moral sebagai efek negatif globalisasi dan arus informasi. Kasus begal, bullying, hingga pembunuhan yang banyak melibatkan generasi muda, usia anak sekolah. Mahasiswa yang sebelumnya menjadi kontrol sosial mewakili masyarakat tanpa embel-embel politik, mengalami pembodohan nalar politik. Daya kritis mahasiswa rendah, seiring dengan mandulnya pembinaan dan pembelajaran di kalangan mereka. Sementara itu, masyarakat dan mahasiswa sebagai agen perubah dibebani pula dengan sikap Ahok yang tidak terdidik.
Memang tidak dipungkiri, era SBY dengan pendekatan politik pencitraan telah mengaburkan hakikat santun. Tutur bahasa yang baik menjadi alat politik untuk mendulang suara, meninggikan elektabilitas. Lagi-lagi untuk kepentingan kekuasaan. Sementara publik, tidak mengalami peningkatan kesejahteraan. Namun tentunya, adalah keliru dengan menyalahkan berkata santun (tapi korup) dan membenarkan berkata kotor tetapi bersih. Karena yang benar adalah ia harus berkata santun dan ia harus bersih. Siapapun yang menjadi pejabat publik, apapun latar belakangnya, ia harus senantiasa menggunakan bahasa santun dan ia harus bersih. Berkata santun tidak berarti lemah dan tidak tegas. Santun tidak berarti jauh dari perubahan. Kekuatan berkata santun terletak dari konsisten tindakan dan kebijakan. Bukankah sejatinya tidak ada negara atau daerah yang miskin, terkecuali negara atau daerah yang tidak dikelola dengan baik (mismanagement)? Inti dari manajemen adalah kepemimpinan (leadership), dan ruh kepemimpinan adalah kepercayaan (trust). Legitimasi seorang pemimpin terletak dari kepercayaan publik yang dipimpinnya. Semakin sering seorang pemimpin complain kepada bawahan, rekanan atau bahkan pihak lain minus introspeksi, maka semakin dekat ia dengan ketidakpercayaan (distrust), semakin cepat pulalah ia meninggalkan kedudukannya tanpa hormat.
Pelajaran berharga sejatinya kita harus dapatkan dari Rasulullah Saw dan para khalifah setelahnya. Sebagai penguasa negara Islam yang adidaya, para penguasa Islam memposisikan dirinya sebagai pelayan. Ia yang menerima keluhan (complain) dari rakyatnya, tidak sebaliknya. Penguasa dengan berbesar hati menerima semua kritik dan masukan. Sehingga apa yang Allah Swt gambarkan sebagai kondisi ideal relasi pemimpin dan yang dipimpinnya sejatinya tercipta, yaitu pemimpin dan yang dipimpin saling meridhai, tidak saling mengutuk. Tentunya jauh dari panggang saat masyarakat memimpikan hidup yang lebih baik, sementara kapasitas pemimpinnya tidak mampu mewujudkannya. Bila demikian terus terjadi, kepemimpinan Ahok hanya menunggu waktu untuk dilengserkan oleh publik.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun