Mohon tunggu...
Denny Kodrat
Denny Kodrat Mohon Tunggu... Lainnya - Universitas Sebelas April

Praktisi pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pejabat Negara: Jadilah Negarawan!

25 Februari 2015   17:16 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:32 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hampir mendekati dua dekade selepas reformasi digulirkan, krisis kepemimpinan pasca tumbangnya Orde Baru belum akan usai. Beberapa pejabat berganti, dari mulai presiden, para menteri dan para pejabat lembaga negara lainnya, semuanya masih enggan melepaskan atribut politik dan kepentingan pribadinya saat mengurus negara. Cerita kisruh KPK-Polri menjadi catatan penting betapa publik lagi-lagi disuguhkan tontonan yang tidak mendidik oleh para elit negeri ini. Betapa tidak, menjadikan BG tersangka di saat-saat akhir promosinya menjadi calon Kapolri, kemudian mentersangkakan dua komisioner KPK setelah peristiwa tersebut menegaskan “perang kewenangan” yang tidak steril dari kepentingan. Publik sejatinya dapat mencerna kepentingan dalam peristiwa tersebut secara lebih sederhana. Bila KPK berniat mensterilkan jabatan Kapolri dari pejabat korup, lalu mengapa ia tidak memberikan saran kepada Presiden beberapa saat lalu. Demikian pula dengan Polri, bila dua komisioner ini melakukan tindak pidana, lalu mengapa pengusutannya dilakukan pada saat ini, tidak sekian tahun lalu saat peristiwa itu baru terjadi.
Sikap gagap kepemimpinan pun terjadi. Presiden Jokowi dilanda bingung sehingga harus menunda mengambil keputusan hingga berminggu-minggu. Disaat hasil pra-peradilan telah dibuat, Jokowi justru mengambil sikap tidak konsisten: mengajukan calon lain menjadi Kapolri. Publik lagi-lagi disuguhkan pendidikan politik yang tidak mendidik. Betapa pencitraan mengalahkan seorang pimpinan tertinggi di negeri untuk tidak mengambil keputusan yang tidak populer, meralat apa yang sebelumnya pernah terucap. Adalah benar bahwa krisis jiwa kepemimpinan masih terjadi. Banyak kandidat pemimpin negeri ini yang siap menjadi pejabat, namun miskin dengan sikap kenegarawanan. Jabatan hanya dimaknai dengan memegang kekuasaan, uang dan kewenangan, tidak pernah bersentuhan dengan aspek tanggung jawab transendental. Jika seorang pejabat terpilih di negeri ini, ucapan syukur mengalir deras dari mulut pejabat tersebut. Bukan musibah. Padahal konsekuensi jabatan harus dipertanggungjawabkan kepada langit.
Seharusnya kita malu saat menyusuri manusia-manusia teladan sekian abad lalu yang menyuguhkan sikap sejati seorang negawaran. Seorang Umar bin Khathathab menolak keras saat anaknya Abdullah bin Umar dicalonkan menjadi khalifah menggantikan Umar. Bukan karena Ibnu Umar dipandang tidak mampu, namun Umar sadar betapa beratnya amanah yang akan dipertanggungjawabkan di depan Sang Khalik kelak. “Cukup seorang dari keluarga Khathathab yang menanggung amanah menjadi khalifah.” Fenomena ini sangat jarang ditemukan di negeri ini. Bila bapaknya menjabat menjadi menteri, maka berbondong-bondong anaknya, sanak saudaranya, rekan-rekan dari partai politiknya, turut serta mencicipi kue jabatan dengan menjadi pemenang tender dan proyek APBN. Sementara rakyat hanya mencicipi remah-remah sisa, itupun jika masih ada.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz tidak henti-hentinya menangis setiap malam, khawatir ada warganya yang terzhalimi dengan kebijakannya atau warganya menuntutnya di hari akhir kelak karena sikap abainya sebagai seorang penguasa. Tradisi Islam menekankan bahwa bila seseorang menjadi pejabat negara, maka ia telah mewakafkan dirinya untuk mengurusi masyarakat. Ia tidak menjadi milik keluarga atau partai politik. Ia menjadi milik negara. Mengabdi kepada rakyat. Wajarlah bila seorang khalifah mematikan lampu kantornya saat rekannya ingin berdiskusi masalah pribadi, disaat hari ini para pejabat tiba-tiba buta tidak dapat membedakan mana urusan pribadi, kelompok dengan urusan negara. Fasilitas negara bisa berubah fungsi menjadi fasilitas pribadi, keluarga dan partai politik di negeri ini, sementara publik hanya bisa menonton dari kejauhan. Mudah-mudahan saja tidak ada doa terkutuk keluar dari mulut rakyat yang terzhalimi. Bila itu ada, jauhlah berkah dari langit kepada pejabat dan jabatannya tersebut. Wallahu’alam

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun