MEREKA TAK TERIMA KEYAKINAN YANG DIBERI ORANG TUAKU
Oleh Denny JA
Semarang, 2016.
Anwar berdiri di depan gerbang sekolahnya,
sekolah yang dulu ia sebut rumah kedua.
Kini, ia merasa menjadi tamu tak diundang,
tertolak oleh sesuatu yang tak ia pahami. (1)
-000-
Keyakinan kami bukanlah kata dalam daftar resmi,
bukan deretan huruf di kolom KTP.
Hayu Ningrat, warisan leluhur yang menenun jiwa kami,
dipandang seperti bayang-bayang,
tak layak diterima terang.
Saat masih kanak, orang tuaku memberi keputusan:
"Daftarkan sebagai penganut agama tertentu agar ia aman di negeri ini."
Namun kini, pilihan itu berubah duri.
Kata guru: "Kamu beragama ini di atas kertas,
maka doa seperti itu adalah keharusanmu."
Aku menolak, dengan hati yang gemetar,
sebab keyakinanku bukanlah permainan peran.
-000-
"Mengapa mereka memaksa aku menjadi asing?"
Anwar bertanya dalam sunyi.
"Mengapa warisan darahku tak diterima?
Adakah aku ini pohon yang salah tumbuh,
di tanah yang hanya menyukai mawar?"
Mata kepala sekolah dingin seperti batu sungai:
"Aturan adalah aturan," katanya,
seperti itu jawaban Tuhan.
"Tanpa nilai praktik agama, kau tak naik kelas."
Maka Anwar tak naik kelas.
Bukan karena bodoh,
tapi karena menolak menjadi orang lain.
Ia pernah menghadap kepala sekolah. "Pak, yang terdaftar itu memang bukan agamaku. Aku penganut kepercayaan. Tak bisa aku dipaksa berdoa dengan cara yang tak aku yakini."
Kepala sekolah: "Hidup di negeri ini ada aturannya, Nak. Hanya ada 6 agama yang diakui. Mau bagaimana lagi?"
Anwar terdiam. Aturan itu lebih penting dari hatinya.
-000-
Kota ini telah lama mendesah dalam diam,
menyaksikan anak-anak seperti Anwar
menjadi serpih-serpih yang terpisah dari arus.
Dalam doa yang mereka ucapkan di rumah,
ada langit yang selalu mendengarkan,
namun tidak di ruang kelas yang sempit.
Pulang ke rumah, ayahnya memandangnya,
tak ada kata selain sebuah helaan panjang.
Ibunya, diam-diam, menangis di dapur,
sebab tak tahu apa yang bisa ia lakukan
selain melawan sistem yang bahkan tak ia pahami.
Keyakinanku, seperti kertas kusut di lemari, disembunyikan dari cahaya."
"Sekolah itu menjadi sumur kering, tak ada air untuk dahagaku."
-000-
Anwar berjalan di jalanan Semarang yang tua,
melewati klenteng dan masjid,
melewati sekolah yang kini hanya menjadi dinding.
Di hatinya, ada sebuah puisi tak selesai,
tentang hak yang tak diakui.
"Mereka memintaku menjadi beragama tertentu, katanya pada bayangannya sendiri,
"Namun bagaimana bisa aku menjadi suara,
yang tak sesuai dengan nadiku?"
-000-
Di malam yang sunyi, ia menulis surat kepada angin:
"Jika suatu hari, anak-anak seperti aku,
dapat berdiri di sekolah tanpa takut,
mungkin inilah makna demokrasi."
Namun demokrasi, baginya,
adalah kata yang tenggelam
di antara buku pelajaran dan doa yang dipaksakan.
Di gerbang sekolah itu,
Anwar memandang terakhir kalinya.
Bukan sekolah yang salah,
bukan guru yang sepenuhnya tahu.
Tapi negeri ini,
negeri yang hanya mau mendengar enam agama saja.
Kepercayaanku mungkin tak tercatat di kertas KTP, tapi ia tertulis di nadi.
Di balik pintu gerbang itu,
ia meninggalkan kepingan masa kecilnya,
bersama keyakinan yang tak pernah diterima
oleh siapa pun selain dirinya dan komunitas kecilnya.
Gerbang sekolah itu memisahkan masa kecil dari harapannya.
Tapi dalam hatinya, ia tahu: kemerdekaan sejati adalah hak untuk menjadi diri sendiri.***
(Jakarta, Desember 2024)
CATATAN
(1) Puisi Esai  Ini kisah fiksi yang diinspirasi peristiwa sebenarnya:
https://www.hrw.org/id/news/2016/08/30/293514?utm_source=chatgpt.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H