"Sekolah itu menjadi sumur kering, tak ada air untuk dahagaku."
-000-
Anwar berjalan di jalanan Semarang yang tua,
melewati klenteng dan masjid,
melewati sekolah yang kini hanya menjadi dinding.
Di hatinya, ada sebuah puisi tak selesai,
tentang hak yang tak diakui.
"Mereka memintaku menjadi beragama tertentu, katanya pada bayangannya sendiri,
"Namun bagaimana bisa aku menjadi suara,
yang tak sesuai dengan nadiku?"
-000-
Di malam yang sunyi, ia menulis surat kepada angin:
"Jika suatu hari, anak-anak seperti aku,
dapat berdiri di sekolah tanpa takut,
mungkin inilah makna demokrasi."
Namun demokrasi, baginya,
adalah kata yang tenggelam
di antara buku pelajaran dan doa yang dipaksakan.
Di gerbang sekolah itu,
Anwar memandang terakhir kalinya.
Bukan sekolah yang salah,
bukan guru yang sepenuhnya tahu.
Tapi negeri ini,
negeri yang hanya mau mendengar enam agama saja.
Kepercayaanku mungkin tak tercatat di kertas KTP, tapi ia tertulis di nadi.
Di balik pintu gerbang itu,
ia meninggalkan kepingan masa kecilnya,
bersama keyakinan yang tak pernah diterima
oleh siapa pun selain dirinya dan komunitas kecilnya.
Gerbang sekolah itu memisahkan masa kecil dari harapannya.