"Mengapa mereka memaksa aku menjadi asing?"
Anwar bertanya dalam sunyi.
"Mengapa warisan darahku tak diterima?
Adakah aku ini pohon yang salah tumbuh,
di tanah yang hanya menyukai mawar?"
Mata kepala sekolah dingin seperti batu sungai:
"Aturan adalah aturan," katanya,
seperti itu jawaban Tuhan.
"Tanpa nilai praktik agama, kau tak naik kelas."
Maka Anwar tak naik kelas.
Bukan karena bodoh,
tapi karena menolak menjadi orang lain.
Ia pernah menghadap kepala sekolah. "Pak, yang terdaftar itu memang bukan agamaku. Aku penganut kepercayaan. Tak bisa aku dipaksa berdoa dengan cara yang tak aku yakini."
Kepala sekolah: "Hidup di negeri ini ada aturannya, Nak. Hanya ada 6 agama yang diakui. Mau bagaimana lagi?"
Anwar terdiam. Aturan itu lebih penting dari hatinya.
-000-
Kota ini telah lama mendesah dalam diam,
menyaksikan anak-anak seperti Anwar
menjadi serpih-serpih yang terpisah dari arus.
Dalam doa yang mereka ucapkan di rumah,
ada langit yang selalu mendengarkan,
namun tidak di ruang kelas yang sempit.
Pulang ke rumah, ayahnya memandangnya,
tak ada kata selain sebuah helaan panjang.
Ibunya, diam-diam, menangis di dapur,
sebab tak tahu apa yang bisa ia lakukan
selain melawan sistem yang bahkan tak ia pahami.
Keyakinanku, seperti kertas kusut di lemari, disembunyikan dari cahaya."