Mohon tunggu...
Denny Irawan
Denny Irawan Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

FEUI Student | Defense Economics | Heterodox Economics

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Yang Renta dan Bermental Keong Racun

16 Agustus 2010   10:18 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:59 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tiba waktunya untuk kembali merayakan kemerdekaan. Tidak ada yang istimewa. Semua sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Presiden yang mulai repot menyiapkan pidato. Komandan resimen dan paskibraka yang semakin rutin berlatih. Tidak ketinggalan juga beberapa bapak-bapak perlente yang sibuk membuat baju baru karena akan ikut upacara di istana bersama Bapak Presiden. Selebihnya, semua warga negara menjalankan tugas seperti biasa. Semua menjalankan rutinitasnya dan sekali lagi, tidak ada yang istimewa.

Acedia

Bagi seorang manusia, usia 65 tahun adalah masa-masa kritis. Sebab, hanya sedikit yang pada masa itu bisa terhindar dari acedia. Suatu kondisi di mana seseorang kehilangan semangat hidupnya, “no care” dan “no passion.” Lain dari itu juga ia mulai ditinggalkan. Sebab, dunia modern tidak menghendaki yang renta dan terseok-seok dalam mengikuti laju transformasi bergabung di dalamnya. Seperti nenek yang setelah sekian lama tidak dikunjungi mulai menangis karena dirinya merasa ditinggalkan anak dan cucunya.

Begitu juga suatu bangsa. Meski tidak ditentukan dengan umur historis, namun tidak sulit untuk tahu apakah sebuah bangsa masih bisa disebut muda dan enerjik atau sudah layak diberi status renta dan reyot. Amerika dan Iran adalah jenis yang pertama. Mereka tegap, tetap berani berdiri optimis dengan rencana strategis masing-masing. Amerika mampu membuktikan bahwa “Land of Hope and Glory” milik Miss Liberty masih layak disebut negara meski perekonomiannya baru dilanda badai. Sedangkan Iran, di bawah pemimpin yang sering dilukiskan sebagai Tarzan yang baru keluar dari hutan tidak kunjung gentar meski proyek nuklirnya terus ditentang. Mereka muda, mereka enerjik.

Bagaimana dengan Cina? Cina adalah contoh ekstrim, pemuda yang hiperaktif. Bekerja tanpa henti, sang workaholik sejati. Pabrik bagi dunia modern.

Bagaimana dengan yang renta dan reyot? Lihatlah bangsa yang hanya bisa ikut-ikut. Bangsa yang mudah lupa. Bangsa yang tidak ingat kalau delapan tahun lalu dia pernah setuju untuk bergabung dalam suatu perjanjian perdagangan bebas dan baru ingat ketika perjanjiannya mulai berlaku. Semua tanpa persiapan. Lebih dari itu, dia juga punya lebih dari setengah penduduk yang penghasilannya kurang dari dua dollar sehari. Mereka tidak mungkin bisa mengikuti pembacaan nota keuangan APBN, karena listrik pun belum ada. Tidak mungkin juga mereka tertarik pada perkembangan dunia, terlebih mengikutinya. Karena perutnya terlalu lapar untuk bisa berpikir jernih. Akibatnya, dia terseok-seok dan semakin jelas bahwa kini ia terlihat renta.

Krisis Identitas

Bangsa yang besar tentu punya identitas yang jelas. Mereka secara alami berbeda dengan bangsa-bangsa lainnya. Karena mereka punya coraknya sendiri dan bangga atas hal tersebut. Bukan malah mencacinya, atau bangga dengan budaya asing yang masuk ke dalamnya.

Budaya melayu seringkali dianggap sebagai budaya persatuan nusantara. Terbukti dari Bahasa Indonesia yang merupakan transformasi bahasa melayu. Sebab, budaya akar rumput yang berjumlah ratusan memang harus dicari solusi pemersatunya.

Begitu pula musik nusantara. Dangdut berakar dari musik melayu yang menerima pengaruh unsur musik Inida dan Arab. Namun, yang lebih utama adalah dangdut merupakan musik yang berkembang dan mendapatkan bentuknya di Indonesia. Selain dari itu juga ada keroncong.

Namun, ketika berbicara nasionalisme, muncul rasa miris bagi generasi muda Indonesia yang justru mencemooh hal-hal yang berbau Indonesia. Katakanlah misalnya, berapa banyak mahasiswa yang meletakkan dua jenis musik itu dalam playlist mereka. Terlebih lagi kalau kita bertanya seberapa sering mereka mendengar kumandang Indonesia Raya. Bukankah perilaku, hobi dan selera adalah cerminan nasionalisme kita juga sebagai bangsa.

Terlepas dari apakah selera musik dan nasionalisme harus sejalan, apa salahnya jika kita lebih mencintai sesuatu yang menjadi identitas kita. Sebab, itu juga merupakan sumber daya potensial yang bisa dikembangkan. Kita seharusnya bangga dan berani menunjukkan identitas kita. Bukan malah mencemoohnya. Bagaimana pun, punya identitas lebih baik ketimbang tidak memilikinya sama sekali.

Keong Racun

Melihat perilaku para penggede negeri, akan mudah untuk menempelkan cap Keong Racun pada mereka. Terutama budaya mulut kumat-kemot tanpa diiringi aksi yang nyata. Juga, budaya mata melotot ketika melihat godaan sexy khas dana aspirasi dan dana lain-lainnya yang masih banyak lagi.

Rakyat adalah instrumen penting sebatas untuk memenangkan pemilu dan namanya digunakan sebagai alasan digelontorkannya berbagai kemewahan. Lain dari itu akan sulit menjelaskan fungsi dan status rakyat di hadapan mereka. Lihatlah tanggapan mereka terhadap tabung gas peregang nyawa. Mereka lamban, ragu-ragu, saling menyalahkan, pura-pura lupa dan sejenisnya. Semakin mirip dengan sosok yang tua dan renta.

DPR pun semakin canggih seiring dengan fasilitas yang semakin banyak juga. Dahulu sebelum reformasi, DPR amat identik dengan budaya tidur di saat rapat. Kini hal itu sudah mulai berkurang. Karena sekarang budaya tidur saat rapat sudah digantikan dengan budaya tidak datang rapat alias absen.

Jika kita kembali mempertanyakan identitas bangsa Indonesia, mentalitas Keong Racun ini sedikit banyak bisa menggambarkan identitas kita saat ini. Meski kita tahu bahwa bukan itu identitas kita yang sesungguhnya. Jati diri Bangsa Indonesia adalah Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur. Persis seperti yang para bapak bangsa kita telah gariskan.

Menjadi Indonesia

Peringatan ke-65 kemerdekaan Indonesia adalah momentum tepat untuk kembali merenungkan identitas kita. Berjuang menuju jati diri kita yang sesungguhnya.

Indonesia yang renta, terseok-seok dan seperti keong racun bukanlah Indonesia. Itu adalah potret buruk sebuah bangsa besar yang dinahkodai orang-orang berjiwa kecil. Kita butuh orang-orang yang tepat sebagai nahkoda. Sosok-sosok yang hadir dengan semangat mulia dan idealisme yang suci. Sosok negarawan yang bisa melepaskan diri dari racun sang Keong Racun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun