Wanita mana yang tidak bahagia disaat duduk berdampingan dengan suami di pelaminan. Wanita mana yang tidak sumringah, angan-angan yang sudah lama kini jadi kenyataan. Begitu juga dengan aku. Aku sejak subuh tadi sangat bahagia, pakaian penganten yang serba merah sangat pas kukenakan, ditambah dengan sunting khas Minangkabau melekat di kepalaku. Para pedandan sudah mendandani aku, aku terlihat begitu sempurna, bibir merah menyala, pipi sedikit merah jambu di tulang pipi, bulu mata palsu ikut menambah cantiknya penampilanku. Aku sudah tidak sabar untuk duduk di pelaminan. Saat aku akan melangkah keluar kamar, bibiku menahan "Ela, ini baru pukul 9.00 pagi, nanti acaranya mulai pukul 10.00". ujarnya memegang tanganku.
Suamiku sudah datang diantar rombongan sanak keluarganya, disambut dengan tari gelombang, tari khas Minangkabau. Aku mengintip dari balik tirai, suamiku terlihat sangat ganteng dan gagah. Pakaiannya nuansa merah seirama denganku, sebuah keris menyilang di pinggangnya menambah gagahnya dia. Kumisnya yang tipis membuat kegantengannya nampak. Aku terpesona, tidak salah aku memilih dia. Dengan berpegangan pada lengan bibi, aku diajak ke luar kamar, dan langsung duduk di sebelahnya, seulas senyum kuhadiahkan buat dia yang pertama. Kami saling menggenggam jemari, dan menatap pada tamu undangan, yang sedang menikmati hidangan. Beberapa kali jemarinya menekan jemariku, dan kubalas yang sama. Kami kembali tersenyum.
Suara musik minang mengalun, lagu "malam bainai"pun dilantunkan oleh penyanyi dengan merdu. Aku menikmatinya. Tiba-tiba musik berhenti mendadak. Kulihat lampu-lampu masih menyala, pasti bukan listrik padam. Beberapa orang berlarian ke luar, kami masih saja duduk di pelaminan, ingin rasanya ikut keluar untuk mengetahui. Tapi suamiku melarangnya. Tamu undangan yang rata-rata keluarga suamiku berlarian keluar, begitu juga orang-orang yang di dapur. Aku semakin penasaran. Suamiku menahan kuat tanganku untuk tidak keluar. Beberapa orang masuk ke dalam ruangan, dan diikuti beberapa orang lainnya yang tidak kukenal. Di belakangnya seorang perempuan menangis kencang, mengucapkan kata-kata tidak ikhlas, tidak rela. Aku bingung. "Benarkah ini suamimu?" tanya bapak mertuaku kepada perempuan tadi. Dia terdiam, dan tangisnya berhenti, lalu menunduk. "Maaf pak, saya kira suami saya, karena di depan tertulis namanya 'Muhammad Danny', ternyata bukan". Perempuan itu meluncur keluar dan tidak kembali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H