Mohon tunggu...
Denny Eko Wibowo
Denny Eko Wibowo Mohon Tunggu... Dosen - Long Life Learner - Enthusiast in Research of Performing Arts and Culture

D3 Bahasa Jepang Univ.Diponegoro - S1 Seni Tari ISI Yogyakarta - S2 Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa UGM - Dosen Tari Universitas Universal Batam

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

'MENDAYUNG SAMPAN KE PULAU BINTAN', TEBAR-TANGKAP PENGETAHUAN TARI : Sebuah Catatan Peristiwa Belajar Seni Teralami

27 Desember 2024   11:23 Diperbarui: 27 Desember 2024   11:36 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Belajar Detail Kaki Nyelekenthing (Sumber: Grha Taya Candrakirana)

Desa Berakit, Kab.Bintan pada hari Senin (23/12/2024), pukul 11.00 hingga 16.00 WIB, geliat belajar seni tampak pada kegiatan bengkel tari Jawa, kategori dasar yang diselenggarakan oleh Sanggar Seni ESSE Bintan bekerjasama dengan Studio Olah Seni Grha Taya Candrakirana Batam dengan tajuk "Hi Nice to Meet Tari Jawa". Tajuk yang ringan dan ramah, dengan tujuan lebih mendekatkan seni tari tradisional, khususnya Jawa kepada generasi muda di luar Jawa. Sekitar 30 orang peserta yang terdiri dari pelajar, penggiat sanggar dan guru, turut dalam kegiatan pelatihan tari yangdibagi dalam 3 sesi, yakni (1) pengetahuan dasar gerak tari Jawa dan wawasan tentang gaya Tari Jawa, (2) latihan dasar sikap badan (deg) dan teknik penggunaan sampur serta samparan, (3) kerja studio koreografi berbasis dasar gerak tari Jawa. Antusiasme peserta tampak dari tiap sesi yang menghadirkan suasana dialogis nan hangat. Narasumber bertanya dan peserta merespon dengan baik, bahkan cerapan pengetahuan gerak dasar tari Jawa dilakukan ulang dengan maksimal. Suasana belajar yang penuh kesabaran dari kedua pihak yakni pembelajar dan pengajar terbangun dengan jelas. Struktur workshop tidak hanya mendorong peserta menerima dan imitasi tapi juga berdialog dan mengembangkan daya kreatifnya. Metode pembelajaran semacam ini kerap diberi istilah simulation, discussion, hingga bentuk semacam self-directed learning. Menurut Knowles dalam Angela Towle mengemukakan bahwa self-directed learning merupakan proses di mana individu mengambi inisiatif, dengan atau tanpa bantuan orang lain dalam kebutuhan belajarnya, memformulasikan capaian pembelajaran, mengidentifikasi sumber daya manusia dan sumber material untuk pembelajaran, serta memilih dan menerapkan strategi belajar, dan mengevaluasi hasil belajar, sehingga dari semuanya ini ada tanggung jawab dan kontrol dari pembelajaran tersebut.

Adaptasi metode pembelajaran tersebut di atas diawali dengan teknik interview kepada peserta untuk mengajukan pertanyaan tentang apapun terkait tari Jawa. Jawaban yang disampaikan bahkan disertai praktik. Pertanyaan pengantar adalah 'mengapa tari Jawa selalu berirama pelan?'. Penjelasan atas pertanyaan itu mengacu pada genre tari Jawa yang mudah dipahami dalam dikotomi umum yakni tari jenis klasik dan kerakyatan. Berawal dari paparan tersebut, kemudian berkembang pada kemunculan pertanyaan tentang 'apakah penari laki-laki terkesan gemulai saat menari Jawa?'; maka dari pertanyaan ini terjawab apik dengan penjelasan mengenai karakterisasi tari Jawa dalam tiga kelompok besar yakni Puteri, Putera Alus, dan Putera Gagah. Maka, tak ada alasan aneh bagi penari dengan gender laki-laki. Kemudian perihal gemulai adalah tuntutan dari karakterisasi yang disajikan. Tipe karakter ini bahkan mempengaruhi wujud geraknya dalam 'ruang jangkauan' yakni jangkauan dekat, menengah, dan jauh; dan 'alunan wujud'dalam masing-masing karakter. Semua elemen ini ada pada ranah analisis Laban dalam unsur effort and shape.
Kerja studio yang sederhana diadakan sebagai wujud monitoring dan evaluasi kegiatan, sehingga proses belajar mengajar menjadi terukur. Konsep belajar Taman Siswa memuat aktivitas 3N yakni niteni, nirokke, nambahi (mengamati-menirukan-mengembangkan) mampu menjadi dasar pengetahuan untuk mendukung kecakapan penari di dalam konteks belajar yang lebih kompleks. Jika konsep 3N ini digunakan dalam dunia pendidikan seperti awal mula dicetuskan, dengan mengambil esensi dari tindakan yang wujud tersebut, menurut Nisa Hidayati dalam artikel Agustina Sri Andayani bahwa konsep ini mendorong pada sikap kreatif, jujur, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, dan rasa ingin tahu.


Sanggar Lembayung, Tanjungpinang, mengisi hari Senin malam (23/12/2024) dengan kehadiran beberapa anggota sanggar seni ini untuk mencerap pengetahuan dasar tari Jawa bersama Studio Olah Seni Grha Taya Candrakirana Batam, sebagai bagian dari silaturahmi seni dan pengayaan perbendaharaan teknik gerak (kosa-gerak) yang kemudian bermanfaat sebagai bahan-bahan dasar kreativitas tari. Mulai dari dasar gerak, pengetahuan busana tari Jawa, hingga teknik gerak berpindah tempat (locomotor movement) yang penting sebagai bekal olah tubuh. Tujuan proses belajar ini tentu selain sebagai bagian dari pelestarian/ konservatori seni pertunjukan (tari) tradisional, juga upaya bergerak di tengah era globalisasi. Tantangan era globalisasi semakin menggerus seni pertunjukan (tari) tradisional ke arah arus kapitalisme, bisa jadi menyusup melalui bidang pariwisata dan ekonomi seni kreatif. Terkadang keduanya saling bercampur dan berkelindan tanpa batas yang jelas. Maka, actor globalisasi mesti memiliki banyak pengetahuan (stock of knowledge) agar mampu memunculkan produksi dan reproduksi tindakannya tersebut. Menurut Steger, kreativitas di era globalisasi menghasilkan sesuatu yang berlipat ganda (creation and multiplication). Seni Pertunjukan tradisional tentu memiliki tantangan sekaligus peluangnya. Maka, belajar hal dasar menjadi sangat penting agar seni yang dihasilkan bukan tiruan seni yang asal-asalan atau bersifat pseudo-traditional art.
Lebih jauh lagi, mencermati interaksi antar komunitas seni semacam ini turut menghadirkan gambaran wujud dari konsep masyarakat dengan plurarisme budaya, dalam lingkup ilmu sosial. Plurarisme budaya memiliki definisi berbeda dengan multikulturalisme. Sebab, dalam budaya pluralis, kelompok-kelompok tidak hanya hidup berdampingan secara berdampingan, tetapi juga menganggap kualitas kelompok lain sebagai sifat yang pantas dimiliki dalam budaya dominan.
Sanggar seni atau komunitas seni atau organisasi seni, apakah kemudian mampu menjadi wadah 'pelembagaan' dari aktivitas berkesenian? Hal ini bisa kita cermati dari definisi pelembagaan atau proses pelembagaan menurut Robert M.Z. Lawang yang menyatakan bahwa proses pelembagaan yaitu proses bagaimana suatu perilaku menjadi berpola atau bagaimana suatu pola perilaku yang mapan, dengan kata lain kebiasaan dalam masyarakat telah menjadi suatu lembaga yang akhirnya menjadi panduan dalam kehidupan bersama. Kita posisikan perilaku 'berkesenian' dalam konteks lembaga sehingga keberadaanya di masyarakat juga setidaknya mencakup tiga hal penting yakni aspek ideologis, edukasi dan ekonomi. Jika hanya memenuhi salah satunya saja, maka ketimpangan bisa saja terjadi dan arah pelembagaan menjadi tidak sinergi.
Mendayung sampan sehari, tebar tangkap pengetahuan seni teralami. Upaya menjaga khazanah budaya yang ada pada seni tari (tangible) merupakan tugas bersama pelaku seni dan pemerhati budaya. Meskipun menjadi semacam klise, dengan slogan melestarikan budaya, namun sebenar-benar melestarikan budaya dapat dilakukan dengan cerdas dan sesuai kapasitas serta kompetensinya dalam dimensi ruang-waktu tertentu.


REFERENSI:
Wibowo, Denny Eko. (2023). Relevansi Konsep 3N dalam Proses Pementasan Sendratari Ramayana Prambanan sebagai Bentuk Pembelajaran Mandiri Studi Kasus: Peran Lesmana pada Grup Tari Greget Mataram Yogyakarta (GMY) dalam buku DIALEKTIKA ANTAR KEAKTORAN DALAM SENI PERTUNJUKAN JAWA DAN BALI. Malang: Singgasana Budaya Nusantara.
Nardono, Tri. (2012). Tari Gaya Yogyakarta Sumber Penciptaan Seni dalam buku GREGED JOGED JOGJA:  Nilai, Seni dan Pendidikan. Yogyakart: Kanwa Publisher.
Sutiyono. (2012). Tantangan Seni Tradisional di Tengah Arus Globalisasi dalam buku GREGED JOGED JOGJA:  Nilai, Seni dan Pendidikan. Yogyakart: Kanwa Publisher.
Bakry, Umar Suryadi. (2021). Multikulturalisme dan Politik Identitas: Dalam Teori dan Praktik. Depok: Rajawali Press
Fitriasari, Rr.Dyah Paramitha. (2017). Pelembagaan Kesenian Tradisi Masyakarat Desa Banyusidi Magelang. Dalam buku Daya Seni: Bunga Rampai 25 Tahun Prodi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa UGM. Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana UGM.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun