Aksi yang besar tentunya bisa peroleh reaksi yang setara atau bisa jadi malah berbanding terbalik. Bagaimana membaca aksi-reaksi yang telah diwujudkan? Sebab sebuah festival seyogyanya merupakan pertunjukan publik yang dapat memberi manfaat bagi masyarakat luas. Manfaat yang dimaksud bisa jadi manfaat praktis, ekonomis, psikis, hingga edukasi. Menilik Liuk Igal Festival 2022, kiranya manfaat tersebut tidak memberikan manfaat bagi publik (secara umum) tetapi kepada masyarakat terbatas yakni pelaku seni tari atau pengamat tari semata. Dari perhelatan yang digelar, setidaknya penonton yang hadir relatif telah mengenal satu sama lain sebagai pelaku seni dan jumlahnya kurang dari 30 orang.
Dinamika Tari Kontemporer di Kepulauan Riau
Perlombaan tari dalam Liuk Igal Festival 2022 ini dinilai oleh tim juri yakni Rines Onyxi Tampubolon, M.Sn., Ruki Daryudi, dan Raja Muhammad Helmi. Wacana tari kontemporer di Kepulauan Riau sekurang-kurangnya telah tampak secara reflektif dari penyajian tari masing-masing peserta. Sal Murgiyanto menerangkan bahwa untuk menandai istilah kontemporer di Indonesia bersamaan dengan berdirinya Pusat Kesenian Jakarta di Taman Ismail Marzuki Jakarta pada tahun 1968. Kontemporer dalam tari telah diartikan sebagai bentuk tari eksperimental yang mencoba mencari nilai-nilai dan ungkapan baru yang berbeda dengan bentuk-bentuk tari (tradisi) sebelumnya (Prakasiwi, Fitriasari, & Murgiyanto, 2020).
Berangkat dari masa tersebut, berarti sebenarnya istilah kontemporer dalam bidang seni tari setidaknya sudah lama akrab dikenal oleh para pelaku seni, khususnya tari. Namun kenyataannya tidak semua pelaku seni mampu menangkap wacana kontemporer sebagai bagian dari proses kreatif dan landasan berkeseniannya hingga hari ini. Secara umum, wacana tari kontemporer hanya dikenal sebagai bagian dari wujud tampak dari sebuah karya tari yang bebas, dan jauh dari kebakuan tari tradisional yang bersifat yang mengikat. Mengamati enam peserta seperti mencoba mengamati perkembangan wacana tari kontemporer di Kepulauan Riau dalam ruang lingkup yang terbatas, artinya ini bisa menjadi semacam sampel dinamika perkembangan wacana tari kontemporer. Secara kuantitas, jumlah peserta belum berasal dari seluruh wilayah kabupaten dan kota di Kepulauan Riau. Secara kualitas, perlu ditinjau penuangan dalam karya tari masing-masing peserta sebagai refleksi dari wacana tari kontemporer di Kepulauan Riau, yang seringkali disematkan pada sebuah acara festival.
Peserta pertama, bernama Hidayat membuka tariannya dalam posisi tubuh terikat, kesadaran dirinya membuat batas penampilan yang hanya mengolah bagian depan menghadap penonton saja. Properti tari berupa tali dari kain diolah dengan cara diikat dan diurai dalam durasi waktu yang tidak menentu, bagian tarinya begitu abstrak sehingga tak bisa dibedakan perpindahan atau isu yang diusung dari setiap babaknya. Penampilan kedua yakni Restu Gustian Asra menghadirkan isu yang cukup terkini, yakni penggunaan smartphone/ gawai oleh generasi Z yang kian berdampak dalam segala bentuk kehidupan mereka. Penari menggunakan sarung tangan warna merah yang mampu mencuri fokus audience sebagai simbol bagian tubuh yang senantiasa bergelut dengan gawai. Gerakan kecil-kecil yang dihadirkan dari gerak jari-jari tangan menimbulkan kesan dramatis, hanya sayangnya pengulangan gerakan tidak dilakukan dengan banyak variasi, dan wujud penuangan dari isu yang dihadirkan tampak umum saja. Selanjutnya, penari dari Kabupaten Lingga yakni Winda Karina yang mampu berekspresi tak hanya dari gerak tarinya namun juga ekspresi atau mimik wajahnya. Eksplorasi properti tari berupa keranjang gendong tak banyak diolah secara variatif, pun isu yang dihadirkan belum tampak dengan penggunaan keranjang gendong tersebut. Sepertinya koreografer belum banyak mengenal karakter properti tarinya, sebab setiap penggunaan keranjang gendong tersebut dalam koreografinya mudah ditebak. Winda belum memperhatikan karakter iringan tarinya yang menggunakan unsur-unsur musik etnis dengan karakter gerak tarinya yang seringkali berganti dari gerakan tubuh yang bersifat eksploratif ke gerakan-gerakan pengembangan tari tradisi seperti gerakan lenggang. Belum usai pertunjukan, peserta selanjutnya adalah Rezky Gustian Asra. Rezky menghadirkan isu kebebasan dan ekpresi kemerdekaan sesuai dengan tema festival yang dicanangkan. Banyak pose-pose artistik yang ditampilkan. Gerakan yang dihadirkan serasa berada pada ruang pentas yang utuh, sebab tak hanya tampak menghadap penonton, tetapi Rezky mencoba melakukan eksplorasi ruang dengan arah hadap yang variatif. Gerak yang dihadirkan memiliki energi yang proporsional, tidak besar dan tidak kecil tapi tepat pada porsi di tiap bagian tarinya. Rangkaian gerak tari Rezky tampak lebih kuat dari iringan tarinya, sehingga iringan musik tarinya lebih cenderung tidak memiliki fungsi yang signifikan. M. Doni Suryadi adalah peserta selanjutnya yang menghadirkan gerak silat sebagai dasar pengembangan garap tarinya. Penggunaan properti tari berupa sentir, menjadi benda yang dipegang dan hanya ditaruh sebagai setting di sisi belakang area pentas. Tampaknya sentir menyala ini sebagai bagian dari pelengkap simbol dari isu karya yang dibawakan. Fungsinya mungkin sebagai penerang, penunjuk jalan, hingga petunjuk hidup dari koreografer, sebab dalam sinopsisnya disampaikan bahwa karya tari ini berangkat dari pengelaman empirisnya. Sayangnya, pengembangan gerak dasar silat sangat minim, padahal jika dicermati bisa menjadi daya pikat garapan tarinya. Peserta terakhir yakni Rudy Hartono yang mengangkat isu tentang healing. Isunya dituangkan dalam gerak yang bernuansa ballet, meskipun bentuk geraknya tampak sebagai ekplorasi tubuh khas koreografernya. Garap tarinya menjadi dramatik sebab rangkaian tiap geraknya berasal dari memori tubuh yang khas. Basah air hujan memberi tampilan sisi artistik kostum yang membentuk dua sisi warna yakni gelap dan terang. Sayangnya, peserta terakhir ini masih secara luas mewujudkan gagasan tarinya. Metode healing yang ditawarkan menjadi bias sebab tiadk mencakup wujud yang spesifik.Â
Sal Murgiyanto menerangkan bahwa wacana tari kontemporer di Indonesia berkaitan dengan sejarah perkembangan sejarah tari kontemporer dunia, yang mencakup garap bentuk dan isi dalam empat elemen yakni rasional, kebebasan, kreativitas, dan kemanusiaan (Prakasiwi, Fitriasari, & Murgiyanto, 2020). Jika membaca perkembangan wacana kontemporer di Kepulauan Riau melalui acara Liuk Igal Festival 2022, keempat elemen yang diajukan oleh Sal Murgiyanto cukup berat diwujudkan. Pasalnya aspek kemanusiaan belum utuh terwujud dalam garapan tari yang dihadirkan, terlebih dampaknya bagi audiens atau masyarakat sekitar. Akan tetapi, aspek rasional, kebebasan, kreativitas bisa dipahami terkandung dalam setiap garap tari yang dibawakan.
Perspektif kontemporer dalam bidang tari dapat dipinjam dari Giorgio Agamben yakni tentang 'darkness'. Agamben membuat analogi untuk menyatakan bentuk kontemporer. Suatu hal dikatakan kontemporer jika mampu menghadirkan terangnya sisi tertentu dan kekaburan didalamnya, jika sudah demikian maka 'darkness' akan ditemukan (Prakasiwi, Fitriasari, & Murgiyanto, 2020). Suatu hal yang 'out of box' atau berbeda dari hal yang biasa kerap menjadi tumpuan wacana kontemporer. Pola pakem atau tradisional seringkali dihindari jika ingin dilabeli sebagai garap tari yang kontemporer. Namun, tidak semudah itu menempelkan label kontemporer dari sebuah gagasan. Sebab, selain pola tradisi dapat menjadi sumber penciptaan tari, label tari kontemporer paling tidak memenuhi empat aspek yang telah dijelaskan oleh Sal Murgiyanto. Beberapa peserta bisa jadi telah mencoba menunjukan 'darkness' dari isu yang dihadirkan, namun kembali lagi aspek penuangan yang belum cukup 'terbaca' oleh para juri dan audiens. Namun, hal yang cukup membuat cerah masa depan tari kontemporer di Kepulauan Riau, adalah kemunculan kreativitas pelaku seni tari yang berkaitan dengan eksistensi tari kontemporer di wilayah kepulauan ini. Ferreira menerangkan bahwa ekspresi anak muda berkaitan dengan ekspresi dari politik eksistensi (Prakasiwi, Fitriasari, & Murgiyanto, 2020). Hal tersebut berarti bahwa para pelaku seni tari yang kini bermunculan bisa menjadi gambaran dari proses menemukan otensitas diri mereka masing-masing.
"Sampan Kayu di Tengah Gelombang"
Dinamika perkembangan tari kontemporer di Kepulauan Riau seharusnya didukung oleh ekosistem kesenian yang baik. Penyelenggaraan semacam festival seni oleh komunitas maupun pemerintah daerah melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata misalnya mampu membuat geliat perkembangan seni (khususnya tari komtemporer) di Kepulauan Riau menjadi semarak. Meskipun demikian ada hal yang perlu dicermati untuk kemudian menjadi bahan pertimbangan penyelenggaran selanjutnya. Produksi sebuah festival tentu diharapkan berdampak bagi masyarakat banyak, tidak selalu hanya masyarakat terbatas, selain produksi atau manajemen pemanggungannya yang juga pentimg diperhatikan. Sebab jika sudah mencapai tataran demikian, esensi kata 'festival' tidak sekedar presensi rutin semata.
Perkembangan wacana tari kontemporer dapat mencakup objek materialnya yakni garapan tari dan juga subjek materialnya yakni penari atau koreografer itu sendiri. Masa depan perkembangan tari kontemporer setidaknya perlu dikawal dengan berbagi kegiatan pendukung seperti pelatihan, kurasi dramaturgi, hingga diskusi yang membuka kesempatan bertukar pikiran. Sebab, sejatinya kreativitas itu sifatnya relatif, sebab kreativitas dalam koreografi menurut Sal Murgiyanto merupakan kemampuan seseorang menghasilkan komposisi, produk, atau ide-ide baru yang sebelumnya tak dikenal oleh penyusunnya sendiri (Prakasiwi, Fitriasari, & Murgiyanto, 2020). Maka, perspektif pengamat atau audiens seringkali memunculkan perbedaan diantara mereka semua.