Alam semesta beserta isinya merupakan ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Tidak diragukan lagi alam mempunyai cara tersendiri untuk mengatur agar semua unsur berada pada kondisi seimbang. Semua makhluk hidup baik yang besar maupun yang kecil memiliki peranan dan fungsi masing-masing dalam sistem kehidupan yang berlangsung di alam. Masing-masing fungsi dan peranan tersebut pada akhirnya membentuk suatu keseimbangan yang mengagumkan.
Indonesia merupakan sebuah negara yang tersusun atas 17.508 pulau, membentang diantara benua Asia dan Australia. Secara geografis terletak di antara 6°08’LU - 11°15’LS dan 94°45’ - 141°05’BT. Sebagai negara yang berada pada garis khatulistiwa dan mempunyai iklim tropis, kepulauanIndonesiasangat subur dan memiliki kekayaan alam yang luar biasa. Walaupun luas daratan hanya 1,3 % dari seluruh daratan bumi, Indonesia memiliki keanekaragaman flora dan fauna yang unik dan menakjubkan. Sekitar 10% spesies berbunga, 12% spesies mamalia, 16% spesies reptil dan amphibia, 17% spesies burung, serta 25% spesies ikan dunia yang dikenal manusia terdistribusi di perairan Indonesia (BSP-Kemala, 2000).
Sungguh besar sumberdaya alam yang terkandung di bumi Indonesia ini dan mampu memakmurkan 200 juta lebih rakyatnya jika dikelola secara baik dan benar. Konsep pembangunan berbasis sumber daya alam sangat dipahami potensinya oleh para founding father bangsa Indonesia yang salah satunya diwujudkan dalam bentuk UU Pokok Agraria 1960 (UUPA ‘60) untuk melindungi sumberdaya alam dan massa riil bangsa Indonesia yang hidup dari kebaikan alam.
Ilustrasi hancurnya tatanan ekonomi berbasis sumber daya alam juga terjadi di sektor kehutanan. Ribuan bahkan jutaan hektar hutan alam dirambah dan dibabat hanya untuk tujuan profit semata. Lebih ironis lagi, hasil dari kekayaan alam ini hanya dinikmati oleh segelintir elit ekonomi dan elit politik negeri ini. Tetapi apa kenyataannya, rakyat Indonesia hanya bisa menikmati bencana alam yang ditimbulkan akibat kerusakan hutan, banjir, longsor, dan pencemaran lingkungan akibat limbah industri yang menyebabkan potensi pemanasan global semakin meningkat. Penanggulangan banjir dan tanah longsor menjadi agenda tahunan pemerintah dan tidak sedikit biaya yang dianggarkan untuk banjir dan tanah longsor.
Jika sudah terjadi bencana seperti saat ini, tudingan-tudingan akan sistem pengelolaan tata kota yang buruk santer terdengar. Kebijakan-kebijakan pemerintah mengenai lingkungan sering diremehkan, legalisasi alih fungsi hutan lindung menjadi lahan perkebunan sawit sebegitu mudahnya sampai-sampai Menhut (MS Ka’ban) mengeluarkan Rencana Kerja Tahunan (RKT) untuk memberi ijin pada 14 perusahaan yang sebagian besar dimiliki oleh APP (Sinar Mas Group) untuk membabat lebih dari 100.000 hektar hutan untuk kepentingan industri pulp and paper.(sumber : Greenpeace). Sebagian besar dari 14 perusahaan ini pernah diperiksa Kepolisian terkait kasus illegal logging pada tahun 2007, yang hasilnya satu bupati telah ditahan. Tetapi secara misterius kasus ini dihentikan polisi pada Desember tahun lalu. Saat pemilihan umum ini, perusahaan yang sama malah diberi ijin untuk melakukan penebangan lagi oleh Ka’ban, meski telah ditentang oleh pemerintah daerah. “Fakta-fakta ini mengindikasikan Ka’ban terlibat dalam situasi yang sarat dengan nuansa korupsi,” ujar Zulfahmi. Juru kampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara.
Rencana Kerja Tahunan (RKT) yang dikeluarkan Ka’ban akan memperparah laju deforestasi hutan alam dan lahan gambut di Riau. Jutaan lahan gambut yang memiliki kandungan karbon tinggi dibakar habis. Hal ini akan memperparah emisi gas rumah kaca akibat deforestasi. Realitasnya, kerusakan lahan gambut akan berdampak pada sistem tata air di kawasan sekitar hutan. Gambarannya seperti ini, dalam luasan 1 Ha lahan gambut yang memiliki ketebalan 10cm mampu menyimpan sebanyak 600.000 lt air. Bayangkan jika 100.000 Ha Hutan alam di Riau di babat, berapa banyak air yang hilang dari permukaan bumi ini secara sia-sia. Padahal daur lahan gambut akan terjadi lagi sekitar 100, bahkan 1000 tahun lagi. Sungguh kerusakan yang tidak dapat tergantikan.
Krisis lingkungan ini berkorelasi kuat terhadap siapa presiden terpilih nanti. Pada kenyataannya visi dan misi dari para capres mengenai lingkungan masih dianggap kurang serius dan fokus dalam memberantas kerusakan lingkungan. Para aktifis lingkungan pun merasa kecewa, karena sebenarnya akar dari segala kemelut dan bencana yang timbul di negeri ini tidak lain dan tidak bukan adalah masalah pengelolaan lingkungan yang masih buruk. Ada sedikit harapan yang tersirat di benak kami para pegiat lingkungan dan kehutanan jika presiden terpilih kelak mampu berkontribusi lebih banyak dalam hal pelestarian lingkungan. Dan tak lupa pula presiden terpilih nanti mampu memilih seorang Menteri Kehutanan yang memiliki jiwa rimbawan, visi dan misi yang kuat untuk pemulihan sektor kehutanan mendatang, memiliki pengetahuan cara pelestarian lingkungan, memahami hukum terutama terkait dengan hukum lingkungan, dan mampu menerjemahkan masalah lingkungan dengan keadaan sosial ekonomi (multisektor). Tak salah jika saya sebagai mahasiswa mengharapkan seorang calon pemimpin kehutanan kelak adalah akademisi kehutanan yang dialektika berpolitiknya tidak kalah dengan politikus lainnya.
Mulai sekarang ubahlah pandangan dan mindset kita tentang bagaimana melihat sumberdaya alam bukan sebagai milik sendiri, bukan hanya sekedar merasa memiliki, sehingga ada rasa tanggungjawab tidak bebas mengeksploitasi dengan semena-mena .
-Tulisan ini dibuat saat momentum Pilplres RI Tahun 2009 sebagai bahan refleksi Kelestarian Hutan di Indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H