Mohon tunggu...
Dennis Wara
Dennis Wara Mohon Tunggu... Konsultan - Hutan Lestari Masyarakat Sejahtera

We Know More About Forest

Selanjutnya

Tutup

Nature

Ekowisata: Alternatif Mitigasi Perubahan Iklim Berbasis Masyarakat dan Sumber Daya Alam

4 Februari 2014   10:07 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:10 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Berbicara dan berdebat mengenai perubahan iklim atau istilah “bule”nya climate change memang tidak akan ada habisnya jika tidak ada solusi yang solutif. Mungkin bagi penulis sangat banyak berbagai solusi bermunculan dari mulai adanya moratorium hutan di awal tahun 2011 sampai melakukan penanaman pohon 1 miliyar di berbagai area lahan gundul menjadi salah satu upaya bagus dari pemerintah. Namun, sekali lagi kita harus mencoba melihat dari sudut pandang yang berbeda yaitu apakah sebenarnya berbagai program pemerintah saat ini untuk menurunkan emisi karbon sampai 26 % di tahun 2020 dan 41 % dengan sistem BAU (Buisnes As Usual) bisa tercapai? Bukannya hal ini memerlukan dukungan dari berbagai pihak, bukan saja dari institusi pemerintahan namun dukungan masyarakat juga merupakan sumbangsih terbesar bagi keberhasilan berbagai program pemerintah. Memang menanam pohon merupakan salah satu upaya nyata dalam melestarikan hutan, akan tetapi bagaimana kebutuhan masyarakat saat ini, apakah memang menanam pohon merupakan prioritas utama dalam melestarikan hutan? Penulis rasa bukan, prioritas utama adalah melakukan peguatan mental dan meyakinkan masyarakat bahwa sebenarya pohon yang dirawat kemudian menjadi besar merupakan investasi yang akan dirasakan dikemudian hari. Yang jelas adalah investasi ini bukan hanya dari segi ekonomi, tetapi dari mulai perbaikan kualitas lingkungan sampai sumberdaya pangan.

Memang sesuatu tujuan yang besar membutuhkan energi yang besar pula, tetapi memang harus dipikirkan betul bagaimana cara untuk mencapai hal tersebut tentunya dengan metode yang tepat, cepat, dan multiguna. Angka 26 % merupakan angka ajaib yang dicetuskan Presiden SBY dalam pertemuan COP 15 di Copenhagen. Agak aneh rasanya dengan angka ini, mungkin angka ini muncul karena berbagai dinamika politik G20 dan The Climate Change Summit di New York. Dan kabar yang santer terdengar adalah ketika itu Cina sangat vokal dalam upaya-upaya penurunan emisi karbon dalam insutrinya namun belum bisa menyebutkan angka jelasnya, sehingga Indonesia berinisiatif untuk memunculkan sebuah angka dan kemungkinan akan dianggap sebagai negara yang sangat progresif dalam isu perubahan iklim dunia. Mungkin rasa optimistik sang presiden yang perlu kita contoh bukan hanya angka belaka.

Mungkin kita butuh suatu inovasi atau cara berpikir baru bagaimana memanfaatkan sumberdaya alam ini secara optimal namun juga dapat bermanfaat bagi kesejahteraan. Berbagai macam teori dan konsep mungkin sudah banyak di implementasikan, namun kemanfaatannya belum dirasakan secara maksimal. Sumberdaya alam yang melimpah bagi Indonesia merupakan anugrah dan beban tersendiri bagaimana nantinya kita bisa mengolahnya. Terkait dengan hal itu bahwa ada sebuah konsep yang diarasa mampu menjadi alternatif dalam pengelolaan hutan dalam rangka menurunkan emisi karbon dan gas rumah kaca di udara yaitu konsep ekowisata.

Apa itu ekowisata?

Ekowisata (ecotourism) dalam bahasa Indonesia biasa diartikan sebagai pariwsata berwawasan lingkungan. Maksudnya, melalui aktivitas yang berkaian dengan alam, wisatawan diajak melihat dan menyaksikan alam daei dekat, menikmati keaslian alam dan lingkungannya sehingga membuatnya tergugah untuk mencintai alam (Yoeti, 2008).

Berbeda dengan pariwisata (tourism) yang kita kenal, ekowisata dalam penyelenggaraannya tidak menuntut tersedianya fasilitas akomodasi yang modern atau luks yang dilengkapi dengan perlengkapan yang mewah dan bangunan artifisial yang berlebihan, semuanya disesuaikan degan alam, yang menonjol adalah memelihara keaslian lingkungan tanpa merusak alam, flora dan fauna, memelihara keaslian seni budaya tradisional masyarakat sekitar dan terciptanya ketenangan, sehingga tercipta keseimbangan antara kehidupan manusia dengan alam di sekitarnya. Jadi ekowisata bukan jenis pariwisata massal yang lebih cenderung mengahamburkan uang atau juga sebagai “pariwisata glamour”, melainkan suatu jenis  pariwisata yang dapat meningkatkan pengetahuan, memperluas wawasan atau mempelajari sesuatu dari alam, flora dan fauna atau tata kehidupan etnis (local people) yang berdiam di kawasan itu.

Dalam buku Perencanaan dan Pengembangan Pariwisata,Oka A. Yoeti (2008) menyebutkan bahwa ada empat unsur yang dianggap paling penting, yaitu harus ada unsur pro-aktif, ada kepedulian terhadap pelestarian lingkungan hidup dan adanya keterlibatan penduduk lokal serta adanya unsur pendidikan, harus memiliki unsur pengetahuan dan wawasan bagi wisatwan serta keinginan untuk mempelajari sesuatu untuk menambah pengalaman, bahkan ada yang khusus datang melakukan penelitian.

Pengembagan Ekowisata di Kawasan Hutan

Indonesia memiliki potensi yang sangat menjanjikan untuk kegiatan wisata minat khusus dan ekowisata dalam kawasan hutan sangat banyak (lebih dari 18.000) pulau besar dan kecil memiliki keanekaragaman ekosistem yang sangat tinggi (Fandeli, 2005).

Ekowisata diberi batasan sebagai batasan sebagai bentuk dan kegiatan wisata yang bertumpu pada lingkugan dan bermanfaat secara ekologi, sosial dan ekonomi bagi masyarakat lokal serta bagi kelestarian sumberdaya alam dan pemanfaatan yang berkelanjutan. Lima aspek utama untuk berkembangnya ekowista adalah : (1) adanya keaslian lingkungan alam dan budaya (2) keberadaan dan dukungan masyarakat (3) pendidikan dan pengalaman (4) keberlanjutan dan (5) kemampuan manajemen dalam pengelolaan ekowisata (Choy dalam Fandeli, 2005).

Sementara wisata minat khusus diterjamahkan dari special interest tourism atau alternatif tourism yang mengandung empat unsur yang menguntungkan bagi lingkungan dan masyarakat, yaitu : (1) terjadninya proses belajar (2) pemberian apresiasi terhadap alam (3)pengkayaan pengetahuan (4) petualangan. Kedua bentuk pariwisata tersebut yaitu ekowisata dan wisata minat khusus ini sangat prospektif dalam penyelamatan ekosistem hutan. Kawasan hutan untuk pelestarian dan pemanfaatan alam yang memiliki ciri tertentu sebgai wakil dari wkotipe suatu wilayah tertentu dapat dimanfaatkan untuk pengembangan ekowisata dan wisata minat khusus. Kawasan hutan Taman Nasional, Taman Wisata Alam, Cagar Alam, Taman Hutan Raya, dan Hutan Wisata sering disebut kawasan konservasi yang mengandung aspek pelestarian dan pemanfaatan.

Bagaimana untuk kawasan hutan selain kawasan konservasi dan hutan negara untuk dikembangkan kegiatan ekowisata, apakah bisa? Jawabannya tentu saja bisa. Seperti penjelasan konsep ekowisata diatas, kawasan hutan yang memiliki potensi alam yang mendukung untuk kegiatan wisata pastilah bisa dikembangakan secara optimal. Tinggal bagaimana dalam proses perencanaan pengembangannya dimasukan kaidah dan unsur-unsur ekowisata maupun wisata minat khusus, artinya adalah mau dikembangkan seperti apakah kawasan hutan tersebut untuk kegiatan wisata harus bisa memberikan kemanafaatan bagi masyarakat, wisatawan, dan lingkungan tetap terjaga keasliannya.

Ekowisata dan Perubahan Iklim

Sangat jelas tertuang dalam Dokumen Panduan “Strategi REDD-Indonesia Fase Readiness 2009-2012 dan Progres Implementasi” di pokok bahasan mengenai Kerangka Regulasi Untuk Menghadapi Tantangan Deforestasi dan Degradasi Hutan di Indonesia pada point 3 dan 4 bahwa rehabilitasi lahan dan konservasi hutan serta pemberdayaan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan. Hal ini menunjukan ada point yang ingin dicapai dari penyusunan dokumen ini dan melibatkan peran serta masyarakat dalam berbagai kegiatan kehutanan. Dalam kerangka acuan tersebut kemudian diterjemahkan dalam rencana-rencana kehutanan jangka pendek, menengah dan panjang.

Mulai akhir tahun 2009, kelima kebijakan prioritas tersebut diperkaya menjadi delapan kebijakan prioritas, sejalan dengan permasalahan yang dihadapi dan tantangan ke depan. Kedelapan kebijakan prioritas tersebut adalah sebagai berikut:

1. Pemantapan kawasan hutan yang berbasis pengelolaan hutan lestari

2. Rehabilitasi hutan dan peningkatan daya dukung DAS

3. Perlindungan dan pengamanan hutan

4. Konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya

5. Revitalisasi hutan dan produk kehutanan

6. Pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan

7. Mitigasi dan adaptasi perubahan iklim sektor kehutanan

8. Penguatan kelembagaan kehutanan

Jika melihat dari perkembangan kebijakan yang sangat cepat saat ini, sektor wisata mampu memberikan kontribusi nyata dalam pengurangan emisi karbon. Peluang yang sangat lebar dalam mengelola sumberdaya hutan untuk kegiatan wisata alam yang bertanggung jawab menjadi suatu keharusan yang mesti dicoba dan dikembangkan.

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan, Kementrian Kehuatan 2010 diperoleh data bahwa:

Cadangan Karbon pada Hutan Alam:

a.Hutan alam dipterakarpa memiliki cadangan karbon sebesar 204,92 – 264,70 ton C/Ha.

b.Hutan alam mangrove sebesar 54,1 – 182,5 ton C/Ha.

c.Hutan Alam Primer Dataran Rendah sebesar 230,10 - 264,70 ton C/Ha.

Pada tipe hutan seperti ini selain untuk kegiatan produksi (IUPHHK-HA) sangat besar kemungkinannya untuk dilakukan pengembangan kegiatan ekowisata, melihat sumberdaya alamnya yang masih asli sehingga diharapakan pengelolaan pada hutan alam akan lebih bijaksana dan terencana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun