Terhitung sejak 3 Agustus 2022, PT Pertamina (Persero) kembali memberlakukan harga jual terbaru tiga jenis Bahan Bakar Minyak (BBM), Pertamax Turbo, Dexlite dan Pertamina Dex, walaupun sebelumnya ketiga harga BBM itu sudah naik sejak 10 Juli 2022. Kenaikan harga BBM merupakan dampak dari tingginya harga minyak dunia yang masih berada diatas US$ 100 per barel, dipicu efek tetek bengek perang Rusia - Ukraina yang tak kunjung usai. Hanya saja dampak kenaikan BBM non subsidi tersebut tidak memberikan efek parah pada kemampuan beli masyarakat karena pangsa pasar BBM non subsidi sekitar 5% dari pemakainya secara nasional.Â
Justru yang dikhawatirkan masyarakat adalah apa yang disampaikan oleh Menko Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan saat memberi kuliah umum di Universitas Hasanudin, 19 Agustus yang lalu terkait harga BBM bersubsidi jenis solar dan pertalite. "Mungkin minggu depan presiden akan mengumumkan mengenai apa dan bagaimana mengenai kenaikan harga ini. Jadi presiden sudah mengindikasikan tidak mungkin kita pertahankan demikian karena harga BBM kita termurah sekawasan dan itu beban untuk APBN," kata Luhut.
Kenaikan harga solar dan pertalite tinggal menunggu waktu. Sebuah kebijakan yang tidak populer dan mesti dilakukan mengingat beban subsidi mencapai Rp. 502 triliun yang membebani APBN kita. Kenaikan itu tentu saja akan berdampak masif bagi masyarakat dan berimbas pada perekonomian kita.
Sebelum kita berimajinasi bagaimana kedepannya, barangkali perlu kita menyimak penjelasan Bhima Yudhistira, ekonom Center of Economic and Law Studies (CELIOS) menyikapi rencana kenaikan BBM ini. Menurut Bhima, sepanjang Januari - Juli 2022 subsidi energi terserap Rp. 88 triliun. Sementara APBN sedang surplus 0,57% dari PDB pada Juli 2022, sekitar Rp. 106,1 triliun. Bhima melihat bahwa kenaikan harga minyak mentah dunia turut dinikmati, sehingga bisa digunakan menambal subsidi energi.
Analisa Bhima menjadi pertanyaan juga bagi banyak pihak, khususnya yang awam terhadap masalah minyak ini, terutama terkait korelasi naiknya harga minyak mentah dunia terhadap naiknya BBM di dalam negeri. Logika berpikir masyarakat awam dengan naiknya harga minyak mentah maka akan menguntungkan neraca perdagangan kita yang artinya harga BBM dalam negeri tidak perlu naik. Bukankah Indonesia adalah salah satu negara OPEC, negara penghasil minyak di dunia? Yang seharusnya diuntungkan dengan kenaikan harga minyak mentah dunia?
Hanya saja, hipotesa awam ini sangat jauh berbeda dengan pandangan ekonomi modern. Untuk menghasilkan berbarel-barel minyak mentah, diperlukan biaya produksi yang lumayan tinggi dengan teknologi yang tidak murah. Juga fluktuasi harga minyak dunia pada umumnya tergantung pada kondisi politik dan keamanan di negara-negara penghasil minyak, seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar, Irak dan Kuwait yang produksi minyaknya dapat menambal 62% persediaan minyak dunia, yang dapat mengganggu suplai. Turunnya daya suplai dapat meningkatkan harga minyak. Tidak adanya kepastian tercapainya target produksi dapat mempengaruhi harga.Â
Keadaan harga minyak yang semakin tinggi, juga tidak dibarengi dengan percepatan perkembangan teknologi dan penemuan baru yang berkaitan dengan sumber energi non bahan bakar minyak cair. Upaya penemuan energi terbarukan serasa berjalan lambat. Kebijakan pemerintah untuk lebih memberdayakan kendaraan berkekuatan listrik mungkin salah satu upayanya, namun tidak cepat memberi dampak. Masih banyak yang dapat dilakukan, toh kita punya banyak ilmuwan dan pemikir untuk mencari way out nya.Â
Ketika kita bicara tentang bagaimana kedepannya setelah kenaikan harga BBM bersubsidi itu diberlakukan, tentu saja hal itu akan menderek naik laju inflasi. BBM bersubsidi memiliki hubungan erat bagaikan dua sejoli yang tak terpisahkan dengan beragam barang dan bahan kebutuhan pokok. Seandainya pertalite naik, akan pula mengatrol kenaikan harga barang dan jasa. Siapa yang terkena dampaknya?
Jumlah orang miskin dan rentan miskin akan bertambah. Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) juga akan terdampak kenaikan itu. Terdapat 64 juta UMKM yang bergantung pada kenaikan BBM. Apakah perlu merevisi kebijakan kompensansi, perlindungan sosial, bantuan sosial atau apapun namanya untuk meminimalkan dampaknya?
Piter Abdullah, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, beranggapan bahwa adanya subsidi selama ini adalah faktor keberhasilan Indonesia dalam menahan laju inflasi. Inflasi terkontrol karena produsen belum mentransmisikan kenaikan harga bahan baku ke harga konsumen.Â
Sudahlah, toh Menteri Luhut telah memberikan sinyal kenaikan BBM bersubsidi. Kita hanya bersiap saja, mencoba beradaptasi atas dampak kebijakannya sembari berdoa agar Indonesia tetap baik-baik saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H