Seorang demi seorang berdatangan memenuhi ruang tamu itu. Seperti biasa, setiap sekali dalam dua minggu perkumpulan warga bernama Sektor Sukamaju berkumpul di salah satu rumah warga secara bergilir untuk melakukan ibadah sekaligus diskusi atas nats khotbah yang disampaikan pendeta. Tidak terasa menjelang pukul 16.10 WIB ruangan sudah dipenuhi jemaat. Dan ibadah sore itu pun dimulai walau molor 10 menit dari waktu yang telah ditetapkan.
Sore itu kami mendengarkan khotbah bertema "Memberi Sedekah" berdasarkan Injil Matius 6 : 1 - 4. Empat ayat tersebut merupakan perintah Yesus kepada para pengikutnya yang intinya bahwa dalam menjalankan kewajiban agama yang secara spesifik disebutkan sebagai memberi sedekah jangan pamer atau dalam bahasa Yesus tertulis "apa yang diberi tangan kanan jangan sampai diketahui tangan kiri". Sebuah perintah bermakna filosofis bagi para pengikutnya.
Memberi merupakan manifestasi dari kasih yang diajarkan dan dipahami secara universal. Pernahkah kita memberi? Tanpa melihat apa agamanya, setiap individu manusia memiliki keinginan, kemampuan dan kewenangan memberi. Sebagian lainnya memberi istilah berbagi kasih. Hal sederhana adalah bersedekah kepada mereka yang berkekurangan.
Ajarannya jelas bahwa dalam hal memberi seseorang tidak boleh pamer. Tidak boleh mengumbar kegiatan memberi tersebut. Apalagi dilakukan dengan sengaja untuk diketahui khalayak. Jika itu yang terjadi maka ibadah (dalam memberi) kita tidak ada gunanya.
Sekilas berbagi kasih kepada mereka yang membutuhkan terlihat mudah untuk dilakukan apalagi bagi mereka yang berlebih. Kita bisa melihat banyak contoh untuk hal ini. Pertanyaannya adalah bagaimana niat memberi sedekah tersebut? Apakah ikhlas, dari hati, dan tidak disusupi keinginan pamer atau riya?
Memiliki niat yang tulus dan ikhlas yang muncul sebagai perpaduan rasa kemanusian serta pemahaman yang baik atas ajaran agama merupakan syarat awal nan mutlak yang wajib mendasari. Ketika melihat atau berpapasan dengan seorang peminta-minta di jalan dan seketika itu ada rasa iba dan tergerak untuk memberi sedekah. Atau segera memberi respon ketika mendengar kabar ada panti asuhan sedang kesulitan. Tentu merupakan contoh niat ikhlas yang mengawali sikap memberi. Tanpa syarat tanpa berharap reward atau feedback dari berbagi kasih tadi.
Selain itu, memberi tidak boleh menjadi komoditas untuk pamer, memberitahukan kepada khalayak dengan maksud pamer. Memang betul, terkadang orang lain butuh motivasi, support dalam membangun keinginan memberi. Dengan membagikan dokumentasi kegiatan charity misalnya, dapat memotivasi orang lain untuk berbagi kepada yang berkekurangan. Namun sekali lagi perlu digarisbawahi bahwa ekspose tidak boleh diiringi dengan motif untuk dikenal dan mendapat pujian.
Yang terakhir adalah berbagi kasih kepada yang membutuhkan. Polanya adalah orang yang berkelimpahan secara ekonomi berbagi kasih kepada orang yang hidupnya sulit dan membutuhkan uluran tangan sesama. Dengan kata lain manifestasi kasih yang kita berikan benar-benar dibutuhkan oleh penerimanya. Tidak mungkinlah kita bersedekah kepada orang berkecukupan kan? Atau kita memberikan pakaian ketika orang tersebut sangat membutuhkan makanan. Untuk konteks ini, kita dituntut untuk peka dan mampu berhikmat dalam memberi sehingga kasih yang kita salurkan tepat sasaran.
Ada pertanyaan dari seseorang, bagaimana jika dia sudah bernazar bahwa suatu saat dia akan berbagi kasih kepada para hamba-Nya, yang secara faktual kesejahteraan hidupnya sudah baik? Jika sudah masuk ranah nazar dan niatnya baik, barangkali perlu diteruskan. Karena kita juga tidak perlu menahan atau merubah arah kebaikan yang telah 'ditetapkan' menjadi hak seseorang.
Dalam banyak hal, kita memberi sesuai kemampuan dan keikhlasan. Jika memang hanya mampu memberi dua maka jangan pula memaksakan untuk memberi tiga atau empat. Itu juga tidak bagus.
Memberi lebih baik dari pada menerima. Bagi yang paham mudah menjalankannya. Tetapi seringkali kita cenderung menyukai peran sebagai penerima dari pada pemberi. Seringkali pula memanipulasi kasih untuk melanggengkan peran penerima. Kasih yang kita terima dari orang lain seyogyanya menjadi cambuk motivasi bagi kita untuk melepas peran sebagai penerima dan menjadi individu yang mandiri.
Sembari berbagi kasih, jangan lupa senantiasa berdoa dan memohon tuntunan-Nya agar kasih yang ditebar menjadi berkat bagi yang berkekurangan dan kelak Sang Empunya Kuasa mencatatkan amal kita.