Mohon tunggu...
Dennis Aegi
Dennis Aegi Mohon Tunggu... -

Rindu Presiden "Nyeleneh"- Yogyakarta, Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kauman di Pucuk Jaman

21 Mei 2014   22:07 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:16 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai agama dengan jumlah penganut terbesar di Indonesia, Islam memegang peranan penting dalam perkembangan budaya dan peradaban. Sejak awal masuk hingga saat ini, nilai-nilai Islami telah membawa banyak perubahan bagi masyarakat kita. Di sebuah tempat di Yogyakarta, kita bisa melihat bagaimana Islam telah sangat melekat pada kehidupan masyarakat. Kauman, kampung religi yang berdiri kokoh di tengah gempuran arus global, menjadi saksi sekaligus bagian dari peristiwa sejarah yang terlupakan.

Kampung Kauman, kampung yang terletak di sepanjang Jalan Kiai Haji Ahmad Dahlan ini, ternyata menyimpan banyak cerita menarik. Asal muasal Kauman sebagai kampung religi, tidak dapat dipisahkan dari berdirinya pemerintahan zaman itu. Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, dahulu adalah sebuah Kerajaan Mataram Islam yang besar pada abad 16 di daerah Kotagede. Nama Kotagede diambil dari nama Ki Gedhe Pemanahan yang merupakan penguasa daerah saat itu. Singkat cerita, Kerajaan Mataram Islam yang dahulu hanya berpusat di Kotagede, kemudian meluas dan terbagi menjadi dua yakni Kesultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta.

Kesultanan Ngayogyakarta awalnya memiliki budaya Jawa dan Islam yang sangat kental hingga datanglah bangsa Belanda yang membawa pengaruh barat. Untuk meredam budaya barat ini, dibangunlah sebuah masjid dan kampung yang berisi para pemuka agama di dekat area Kraton. Hal ini kemudian menjadi cikal bakal lahirnya Kampung Kauman sebagai perisai khusus untuk menangkis setiap budaya barat yang ingin masuk ke Kraton Ngayogyakarta.

“Keberadaan Kauman ini memang sengaja diciptakan Kraton Ngayogyakarta untuk menanggulangi pengaruh-pengaruh barat”, ungkap Catharina Etty selaku Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Dikpora). Sebagai sejarawan yang mengerti seluk beluk berkembangnya kerajaan Islam di Jawa, Ia menambahkan bahwa tidak semua pemimpin Kraton dahulu sangat teguh memegang nilai-nilai tradisional mereka. Oleh karena itu, sebuah masjid dibuat sebagai penguat nilai-nilai Islam saat itu. Pembangunan masjid kemudian diikuti dengan pengangkatan abdi dalem sebagai orang yang mengurusi bidang keagamaan. Para abdi dalem tersebut lantas bermukim dan membentuk perkampungan di sekitar masjid. Kampung inilah yang sekarang kita kenal dengan nama Kampung Kauman yang sangat religius dan menjunjung nilai-nilai Islami, namun tetap setia dengan konteks budaya Jawa.

Jika masuk ke Kauman saat ini, maka nuansa Jawa dan Islam akan sangat kental terasa. Pak Chawari yang merupakan warga asli Kauman menjelaskan bahwa di kampungnya memiliki 4 tipe bangunan dengan fungsi berbeda-beda dalam masyarakat. Bangunan yang pertama adalah bangunan yang dimanfaatkan oleh penghulu Kraton Ngayogyakarta. Bangunan ini biasanya punya struktur bangunan Jawa yang lengkap berdasarkan pakem seperti adanya Pendopo, Pringgitan, Dalem, Senthong, dan Pawon. Kemudian ada bangunan tradisional Jawa yang digunakan oleh para Ketib (Khotib) Masjid yang bertugas untuk menyiarkan Khotbah pada saat Shalat Jumat. Baik bangunan para penghulu kraton maupun yang ditempati oleh para Ketib, masih setia dengan bentuk dan struktur arsitektur tradisional Jawa.

Beralih ke Kelompok ketiga, kelompok ini adalah kelompok bangunan milik para juragan/pengusaha batik. Khusus untuk bangunan tipe ini, gaya arsitekturnya sudah lebih terbuka pada pengaruh luar yang masuk. Pilar-pilar besar gaya ghotic dan ornamen yang minimalis menjadi ciri pengaruh arsitektur Belanda pada bangunan dari kelompok juragan batik. Karena sudah mendapat pengaruh dari luar, tipe bangunan ini biasa disebut masyarakat sekitar sebagai bangunan Indische.

Yang terakhir, ada bangunan masyarakat umum yang juga sudah mendapat pengaruh dari berbagai budaya. Bangunan-bangunan ini dapat dengan mudah kita temui mulai dari berbagai macam bentuk dan warna. Berjejer rapi sepanjang jalan, barisan bangunan ini kemudian membentuk gang-gang kecil yang dahulu berfungsi sebagai tempat pelarian para pejuang dari incaran penjajah saat perang dimulai.

Jika kita amati, gempuran perubahan yang terus menghantam Kauman sebenarnya bukan hanya dari budaya lain saja. Waktu menjadi musuh yang senantiasa membayangi setiap kebudayaan suatu peradaban. Modernisasi di sana-sini turut memaksa Kauman untuk sedikit demi sedikit membuka diri pada dunia luar. Jika kita lihat dari bentuk bangunan saat ini saja, Kauman sudah bisa dikatakan mengalami banyak perubahan. Sebagian ada yang masih tetap mempertahankan bangunan asli, namun ada pula yang total merombak ke bentuk-bentuk arsitektur yang lebih minimalis

Tidak ada hal yang tetap selain perubahan. Namun, melihat Kauman yang terus berjuang memegang nilai-nilai budaya dan agama menjadi sebuah hal yang bisa kita pelajari. Sebagai kampung tua, Kauman menjadi salah satu tonggak sejarah masyarakat dalam mempertahankan nilai budaya Jawa dan Islam yang ada. Dan, bagaimana kampung ini akan terus bertahan di pucuk zaman akan selalu jadi pertanyaan dan tantangan bagi kita di masa kini dan di masa yang akan datang.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun