Usai terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS ke-47, banyak pengamat politik yang berspekulasi bahwa Trump akan menarik bantuan militer dari Ukraina. Di beberapa kesempatan wawancara bersama media, Donald Trump selalu menyampaikan kritikannya terhadap Presiden Joe Biden. Menurutnya, Amerika Serikat terlalu berlebihan dalam memberikan bantuan kepada Ukraina, baik bantuan ekonomi maupun militer. Donald Trump justru berpendapat bahwa kedua negara harus segera melakukan genjatan senjata dan melaksanakan negoisasi. Hal ini tentu saja sulit diterima bagi kedua negara. Sebab, bagi Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky, genjatan senjata hanya dapat dilakukan jika Rusia bersedia menarik mundur seluruh pasukanya dari wilayah Ukraina termasuk Crimea. Presiden Rusia Vladimir Putin jelas menolak syarat yang diajukan oleh Presiden Zelensky. Bagi Putin, Rusia berhak atas seluruh wilayah Ukraina yang saat ini diduduki oleh pasukannya termasuk Crimea.
Dengan berbagai perbedaan pandangan mengenai syarat untuk melakukan genjatan senjata, maka jelas proses negoisasi genjatan senjata kedua negara akan sangat sulit dilakukan. Bagaimanapun, Donald Trump merasa bahwa dirinya mampu menyelesaikan konflik kedua negara dalam waktu satu hari. Namun kenyataanya, sampai saat ini kita belum mendengar rencana damai atau peace plan yang diklaim oleh Trump sebagai solusi terbaik untuk mengakhiri perang. Apapun rencana damai yang akan diajukan oleh Amerika Serikat kepada Rusia dan Ukraina, tentunya masyarakat internasional memiliki ekspektasi yang cukup tinggi agar perang tersebut segera berakhir.
Perang Rusia dan Ukraina telah berlangsung selama lebih dari 2 tahun, kedua negara kini berada pada posisi stalemate dimana keduanya tidak dapat mencaplok salah satu wilayah dari kedua belah pihak secara signifikan. Usaha serangan yang dilakukan oleh Rusia akhir-akhir ini terhadap Ukraina juga tidak membuahkan hasil yang memuaskan. Melihat kenyataan ini, ada 3 skenario yang mungkin terjadi di tahun 2025. Berikut 3 skenario Perang Rusia dan Ukraina di tahun 2025!
1. Rusia dan Ukraina Berhasil Melakukan Genjatan Senjata
Skenario pertama ini cukup realistis dan menjanjikan, mengingat kedua negara telah kehabisan sumber daya militer untuk tetap melanjutkan perang. Terjadinya skenario pertama ini diperkuat setelah Donald Trump terpilih menjadi Presiden AS ke-47. Trump mengklaim bahwa dirinya akan menghentikan perang kedua negara dalam waktu 1 hari meskipun pada kenyataanya tidaklah semudah itu. Belakangan, rencana damai yang akan diajukan Trump kepada kedua negara dibocorkan oleh salah satu media Amerika Wall Street Journal. Rencana damai Trump tersebut berisikan antara lain : Membentuk zona demiliterisasi ( demiitarized zone ) di wilayah selatan Ukraina yang saat ini diduduki oleh pasukan Rusia, kemudian pasukan dari negara Uni Eropa bertugas menjaga zona demiliterisasi tersebut, serta Ukraina bersedia untuk menunda impiannya bergabung dengan aliansi NATO selama 20 tahun ke depan. Sampai saat ini belum diketahui apakah Rusia dan Ukraina menyetujui usulan tersebut.
Lalu bisakah rencana damai itu disepakati oleh kedua negara? Ya tentu saja bisa jika kedua negara bersedia untuk berunding, dan tidak secara berlebihan menuntut agar kepentingan nasional negaranya lebih diprioritaskan di atas negara lain. Amerika yang secara ekonomi dan politik lebih superior dari kedua negara, tentu memiliki leverage untuk memaksa agar keduanya mau dan sepakat untuk berdamai. Amerika bisa saja memaksa Rusia untuk segera melakukan negoisasi dengan cara memutus urat nadi ekonomi mereka, yaitu dengan jalan membatasi penjualan minyak bumi Rusia kepada negara lain. Terhadap Ukraina, Amerika bisa saja menghentikan semua bantuan, baik itu militer dan ekonomi agar Ukraina mau melakukan negoisasi dengan Rusia. Yang jadi permasalahan dalam proses negoisasi ini adalah, apakah kedua negara menyetujui rencana damai yang diajukan oleh Donald Trump tersebut, atau malah keduanya sama sekali tidak menyetujui rencana damai itu. Dalam rencana damai Trump itu, disebutkan bahwa Ukraina harus bersedia menyerahkan Crimea sepenuhnya kepada Rusia secara tidak langsung. Hal ini bertentangan dengan syarat yang diajukan oleh Presiden Zelensky dimana ia meminta agar Crimea menjadi bagian dari wilayah Ukraina. Rencana damai itu juga tidak sepenuhnya menguntungkan Rusia, sebab Putin meminta agar Ukraina tetap menjaga netralitas nya dan tidak akan bergabung untuk menjadi anggota NATO. Kapan dan bagaimana proses negoisasi genjatan senjata ini berlangsung, bukanlah hal yang harus diperhatikan secara detail. Yang terpenting adalah bagaiamana perang antara kedua negara bisa berakhir dengan damai.
2. Tetap Bertahan Pada Status Quo ( Perang Atrisi )
Opsi kedua ini juga merupakan opsi yang cukup realistis, jika negoisasi genjatan senjata kedua negara mengalami kegagalan. Saat ini, kedua negara tengah berusaha untuk mencari jalan tengah guna menyelesaikan konflik. Masalah yang sebelumnya telah diutarakan adalah bagaimana keduanya memiliki perbedaan pandangan terkait syarat dimulainya proses genjatan senjata. Presiden Zelensky menuntut agar Crimea menjadi bagian dari wilayah Ukraina, sementara Presiden Putin mendesak agar Ukraina tidak akan bergabung menjadi anggota NATO. Jika negoisasi yang akan dilakukan di masa yang akan datang menemui kegagalan, maka kedua negara tentu akan tetap saling serang satu sama lain. Rusia akan terus berusaha mencaplok wilayah Ukraina sedikit demi sedikit dan menduduki wilayah tersebut untuk jangka waktu yang panjang. Sementara itu, Amerika akan tetap memberikan bantuan militer yang cukup signifikan agar Ukraina tidak sepenuhnya dikalahkan oleh Rusia. Skenario kedua ini meskipun kelihatanya ideal, tetapi sebenarnya tidaklah baik bagi kedua negara dalam jangka waktu yang lama. Perang atrisi akan menyebabkan lebih banyak korban jiwa dari kedua belah pihak, dan tentu saja akan menguras sumber daya ekonomi dan militer yang besar.
3. Eskalasi Perang Rusia dan Ukraina Berlanjut
Skenario yang ketiga ini merupakan skenario yang cukup ekstrem, dan akan menimbulkan dampak negatif bagi kestabilan dan perdamaian dunia. Jika pada akhirnya proses negoisasi gagal dan kedua negara tetap ngotot mempertahankan kepentingan nasionalnya diatas segalanya, maka eskalasi adalah jawaban terakhir dari masalah tersebut. Terjadinya eskalasi ini bisa dipicu oleh beberapa faktor,salah satunya adalah dukungan yang diberikan oleh Amerika kepada Ukraina untuk menyerang lebih jauh ke dalam wilayah Rusia, seperti kota Moskow atau St Petersburg serta kota-kota strategis lainnya. Sebelumnya, Presiden Putin mengancam akan menyerang markas militer Amerika di sejumlah negara yang tergabung dalam aliansi NATO, jika Amerika memberikan izin kepada Ukraina untuk menyerang lebih jauh ke dalam wilayah Rusia. Jika ancaman Putin tersebut benar-benar terealisasi, maka Perang Rusia dan Ukraina bukan hanya melibatkan kedua negara saja, tetapi akan melibatkan semua negara yang tergabung dalam aliansi NATO. Perang Rusia dan Ukraina akan bertransformasi menjadi Perang Rusia dan NATO. Skenario ini sangatlah ditakuti oleh masyarakat internasional, sebab bukan hanya memicu perang dunia 3, tetapi juga akan memicu terjadinya perang nuklir yang dapat mengancam eksistensi manusia dan lingkungan. Â