pict by: @kurawa
Mungkin mundur adalah pilihan terakhir bagi Setya Novanto, saat berbagai usaha untuk menyelamatkan dirinya dari pelanggaran kode etik ini sudah tidak mungkin terjadi. Setya Novanto seakan sudah bingung untuk menjalankan strategi nya yang sudah tidak mungkin dijalankan.Jagoan-jagoan nya dari partai Golkar dan koalisi merah putih nya yang berada di Mahkamah Kehormatan Dewan, membela mati-matian dan menganggap Setya Novanto tidak melakukan pelanggaran kode etik.
Ridwan Bae, Kahar Muzakir dll hingga menggunakan strategi yang "menggelikan" yang tadi nya membela mati-mati an berbalik 180 derajat memberikan sanksi berat bagi Setya Novanto dengan tujuan "Buying Time" atau memperpanjang waktu untuk memikirkan bagaimana cara meloloskan Setya Novanto.Dalam sanksi berat ini akan dibuat sebuah panel, panel ini ber-anggotakan tokoh masyarakat diluar dari anggota dewan.
Panel yang dibentuk tersebut kemudian melakukan penyelidikan yang akan dilakukan selama 30 hari, jika masih belum menemukan hasil maka kerja panel tersebut diperpanjang 2x atau maksimal selama 90 hari.Disinilah partai Golkar dan koalisi nya akan berupaya semaksimal mungkin menghilangkan pelanggaran yang dilakukan Setya Novanto.
Tapi yang harus dipelajari disini, hasil kerja dari panel tersebut kemudian dibawa kembali ke rapat paripurna. Jadi bisa kita simpulkan masyarakat disini hanyalah "badut". Mengapa? karena keputusan yang mereka dapat pun itu belum keputusan final, karena masih harus dibawa ke rapat paripurna dan kepentingan politik disini pasti terjadi.Â
Sudah sebulan, kita sebagai rakyat Indonesia terkuras pikiran nya dengan masalah yang sebenarnya sangat mudah untuk diselesaikan. Apa yang dilakukan Setya Novanto harus dijadikan pelajaran oleh pejabat agar tidak sewenang-sewenang dengan jabatan yang dipegang nya baik untuk kepentingan pribadi, maupun kepentingan kelompok.Dengan mundurnya Setya Novanto, bisa kita simpulkan beliau menyadari kesalahan etika yang dia perbuat. Masalah etik, mungkin sudah selesai sampai disini, tapi tidak untuk pidana yang masih bergulir di kejaksaan.Semoga keputusan kejaksaan mampu mendengarkan aspirasi atau suara rakyat.
Surat keputusan mundur Setya Novanto, yang mengatasnamakan kemasalahatan rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara cukup memalukan, seolah-olah SN ingin menjadikan dirinya sebagai tokoh berjiwa besar, Telat PAK!. Sudah seharusnya beliau mengambil keputusan mundur sejak awal, bukan saat segala strategi sudah tidak bisa dijalankan.
Dari segi ilmu komunikasi, cara mundur nya Setya Novanto bisa dikatakan menggunakan paradigma konstruktivisme, mengapa? cara ini digunakan untuk menarik simpati terhadap masalah yang telah bergulir selama ini. Dengan mengundurkan diri, masyarakat akan menggap Setya Novanto berjiwa besar. Selain itu koalisi nya yang berada di MKD memberikan sanksi berat, seolah-olah mereka menghukum kesalahan yang dilakukan Setya Novanto, padahal jika kita pelajari, sanksi berat justru akan menguntungkan Setya novanto agar lolos dari masalah ini. disinilah disebut paradigma konstruktivisme. Mereka menggunakan "bahasa" untuk membentuk pikiran dan opini masyarakat, jika mereka bekerja untuk rakyat.
Selain itu komunikasi massa juga berperan dalam kasus ini, yang awalnya dari pembicaraan Setya Novanto, Riza Chalid, dan Maroef Syamsudin. kemudian berkembang luas menjadi pembicaraan masyarakat Indonesia dan menjadi masalah nasional, karena lewat media massa masalah ini disebarkan atau diberitakan kepada khalayak ramai.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI