Mohon tunggu...
Denni Pinontoan
Denni Pinontoan Mohon Tunggu... -

Pegiat Budaya Minahasa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menjadi Manusia Minahasa di Era Global dan Posmodern

21 Agustus 2011   05:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:35 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saya ingat ucapan Alwy Rahman, budayawan dari Universitas Hasanudin Makasar dalam sebuah forum diskusi ilmiah. Katanya, China, India dan Jepang, bisa seperti sekarang ini, karena melakukan apa yang disebut dengan ”Hibridasi Budaya”. Tepatnya, bahwa ketiga bangsa ini berhasil melakukan rasionalisasi terhadap beberapa nilai kulturnya. Artinya, perjumpaannya dengan kebudayaan Barat, tidak terutama membenturkan diri, melainkan melakukan dialog peradaban.

Ketiga negara itu pada beberapa hal berbeda dengan beberapa negara di Timur Tengah, misalnya Mesir, Arab Saudi, Iran dan Irak dll. Yang lebih membenturkan diri dengan Barat pasca Reformasi Luther ketimbang melakukan dialog peradaban. Ini barangkali karena masih tertanam dalam pemikiran mereka soal kejayaan Peradaban Islam, di abad 7 hingga barangkali abad 12. Di mana ketika Eropa masih tertidur karena dogmatisme gereja, justru cahaya peradaban atau modernisasi telah berlangsung di dunia Islam. Ekpansi pasukan Islam dari Indus sampai Andalus, di masa2 awal peradaban Islam pada banyak hal telah memungkinkan terjadinya dialog peradaban dengan pemikiran2 klasik Eropa yang menekankan rasio. Banyak literatur, baik sarjana orientalis maupun oksidentalis yang telah mengulas fakta sejarah itu.

Tapi, begitu cahaya peradaban terbuka di Eropa mulai abad 16, yang antara lain jasa dari Reformasi Luther (1517), maka terkejutlah dunia Arab dan negara2 Islam lainnya. Dan, benturan peradaban pun terjadi. Perang Salib dan juga stigma Barat sebagai bangsa penjajah, Kristen, dan Sekuler, barangkali beberapa faktor penyebab munculnya benturan peradaban antara Islam dan Eropa (Kristen) di masa-masa itu. Beberapa gerakan fundamentalisme Islam, seperti Ikhawnul Muslimin di Mesir, Revolusi Iran tahun 1979, dan Al Qaedahnya Osama bin Laden yang disebut-sebut sebagai dalang hancurnya gedung kembarWTC 11 September 2001, sampai para teoris yang telah membuat sibuk kepolisian kita di Indonesia saya kira beberapa di antaranya adalah karena problem masa lalu itu. Tentang ini telah dibahas secara mendalam oleh Richard T Antoun dalam bukunya Christian, Islamic, and Jewish Movements (2001) dan Bruce Steve dalam bukunya Fundamentalism. Atau juga buku kecil dari Jean-Rene Milot, Muslim and Christians: Enemies or Brothers? Tapi, saya kira sekarang ini lebih banyak di antaranya adalah soal kekuasaan ekonomi dan politik. Misalnya soal terorisme global, khusus peristiwa 11 September 2001, dalam kajian filsafat, Giovanna Borradori mendialogkan analisis filsafat Jurgen Habermas dan Jacques Derrida tentang peristiwa yang menghebohkan dunia itu. Hebarmas dan Derrida, dalam buku itu, sama-sama berpendapat bahwa solusi untuk menghadapi bahaya global ini adalah perubahan pola pikir dan tindak warga dunia, yang harus lebih terbuka, dan menggobal.

Benturan, konflik atau juga perang karena perbedaan etnis dan kebudayaan adalah realitas yang sedang terjadi dalam sejarah kita. Will Kymlicka, dalam bukunya ”Multicultural Citizenship”, membuka bab 1 bukunya dengan menuliskan perkiraan terakhir keragaman itu. Diperkirakan, ke 184 negara merdeka di dunia ini terdiri atas 600 kelompok bahasa dunia, dan 5.000 kelompok etnis. Hanya di beberapa negeri dapat dikatakan bahwa warganya memiliki bahasa yang sama atau termasuk dalam kelompok etnonasional yang sama. Menarik dari buku Kymlicka itu adalah diskusinya yang kritis berdasarkan data-data sahih soal problem kaum minoritas kultural yang telah dipaksa oleh pemerintah di berapa negara, antara lain melalui genoside, atau pengusiran secara massal, juga usaha pemberanguan dan penyeragaman identitas, dalam usaha pemerintahnya menjadikan negara yang berkultur homogen. Apakah selama 60 tahun Indonesia merdeka, begitu juga yang dilakukan oleh sejumlah rezimnya? (Inilah sehingga beberapa tulisan saya dalam milis ini selalu bilang bahwa Indonesianisasi tak lebih dari sebuah kolonialisme baru).

Saya kira munculnya semangat-semangat yang berbasis etinisitas adalah respon atau juga reaksi terhadap usaha rezim Indonesia itu. Proyek peneltian KITLV-Jakarta, yang melibatkan sejumlah peneliti, yang hasil penelitiaannya dibukukan dalam buku ”Politik Lokal Indonesia”(2007) menggambarkan dengan jelas bentuk reaksi itu, antara lain dalam bentuk politik khas lokal, yang seolah-olah menggeser doktrin lama: Indonesia, adalah Jakarta saja.

Sebelum ”The Clash of Civilazation”nya Huntington, ada “Revolution and the Transformation”nya Eisenstadt (1978) yang saya kira telah membahas soal sebab-sebab terjadinya perubahan radikal/revolusi pada beberapa lokus, yang memungkinkan terjadinya benturan peradaban itu. Analisis Marxis sangat kuat dipakai oleh Eisenstadt untuk mengkaji revolusi-revolusi yang telah mengubah sejarah dunia itu.

Tapi, Thomas Friedman dalam bukunya "The World is Flat" (2006) justru melihat perubahan/revolusi seperti yang antara lain digambarkan oleh Eisenstadt itu, sebagai perubahan dalam mendatarkan dunia. Globalisasi pertama, menurut Friedman berlangsung sejak 1492 ketika Colombus berlayar, membuka perdagangan antara "Dunia Lama" dan "Dunia Baru". Ini menurut Friedman berlangsung hingga 1800. Dan, dalam kesadaran historis kita, sejak zaman itulah Minahasa telah masuk dalam globalisasi itu.

Paling radikal, pendataran itu terjadi ketika sistem informasi mengalami revolusi besar-besaran dengan ditemukannya internet. Maka, zaman tradisional, zaman industri telah berakhir, sekarang adalah zamannya informasi. Globalisasi pun tampil dengan wajahnya yang baru, wajah komputerisasi, wajah internetisasi, dan wajah liberalisasi. Bagaimana dengan budaya lokal? Apakah karena pemimpin globalisasi, katanya, Amerika maka Minahasa juga, misalnya ikut dijadikan Amerika? Friedman menjawab: ”Tidak”. Sebab, ”Pertama-tama adalah karena uploading. Uploading membuat proses ’globalisasi akan sesuatu yang sifatnya lokal’ menjadi mungkin.”

Amerika sendiri, mengalami apa yang disebut oleh Francis Fukuyama ”Great Disruption” dalam bukunya ”The Great Disruption” (1994). Yang hancur adalah social capital masyarakat Amerika karena perubahan-perubahan besar di abad yang baru lewat itu. Kehancuran besar modal sosial itu meliputi kriminalitas berkecamuk, kepercayaan menipis, keluarga berantakan, dan individualisme mengalahkah komunitas. ”Apakah kapitalisme menghacurkan social capital?”tanya Fukuyama.

Jawabnya, ”Kapitalisme demikian dinamis, sumber destruksi yang demikian kreatif, yang secara konstan mengubah terma-terma pertukaran yang berlangsung dalam komunitas-komunitas manusia.”

Kembali ke soal globalisasi lokal itu. ”Globalisasi lokal” ini, menurut Friedman menunjuk pada seorang ahli globalisasi dan identitas kebudayaan India, Indrajit Banerjee. Menurut Banerjee sendiri, ”globalisasi lokal” adalah, ”globalisasi yang sebaliknya. Alih-alih media global meliputi Asia; wilayah berbagai media lokal justru mulai mengglobal.”

Friedman di bagian lain bukunya itu mengatakan, ”Akan ada banyak sekali pekerjaan yang baik di dunia datar yang bisa direbut oleh mereka yang memiliki pengetahuan, ketrampilan, ide dan motivasi diri yang tepat.”

Sehingga menarik juga untuk mengkaji secara lebih dalam buku Johan Norberg yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi ”Membela Kapitalisme Global” (Jakarta, Freedom Institute, 2008). Tesis utama Norberg, bahwa kapitalisme global telah memungkinkan kemajuan di beberapa negara. Lagi-lagi, Cina, dan India menjadi contohnya. Dan, negara yang tidak membuka diri pada globalisasi dan kapitalisme, dalam keadaan terpuruk, seperti negara-negara Afrika sub Sahara.

Kalau begitu menjadi warga negara dalam sebuah dunia yang multietnis, dan telah terhubung dalam sebuah proses pendataran dunia bernama globalisasi, maka kebudayaan dan identitas menjadi harga mati. Tapi, sudah jelas, yang perlu dilakukan bukanlah primodialisme sempit, bukan juga vulgarisasi berlebihan, tapi dialog peradaban. Sebab, kebudayaan, mestinya bukan hanya persoalan simbol-simbol kejayaan masa lalu yang telah menjadi artefak itu, tapi lebih dari pada itu adalah spirit dan makna yang terus maju. Maka perlu ada tasfir kebudayaan ala Clifford Geertz, yang mendekati kebudayaan sebagai sebuah organisme hidup, natural dan bukan positivistik. Kebudayaan bukan terutama angka/kuantitas – seperti para positivistik yang telah salah memekanisasi manusia dan perubahan-perubahannya – tapi dia adalah subjek, yang terus berubah dan mengubah. Geertz menyebut pendekatan kebudayaan semacam itu sebagai think description, ”...yang menafsirkan sistem-sistem simbol makna kultural secara mendalam dan menyeluruh dari perspektif para pelaku kebudayaan sendiri.” (Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures, 1974).

Kebudayaan adalah dinamis. Terus berproses bersama kebutuhan manusia dalam berhadapan dengan perubahan zaman. Maka, kalau dulu Minahasa eksklusif 4 sub etnis, kemudian menjadi 9 sub etnis, maka sekarang multietnis. Di Tanah ini hidup si Cina, si Arab, si India, si Gorontalo, si Sangihe dll. Kalau ada yang masih menganggap agama Minahasa adalah Kristen, maka barangkali dia belum siap menjadikan Minahasa sebagai satu titik peradaban di tengah jagad raya ini. Sebab, di sini, selain agama Kristen, hidup juga agama Islam, Hindu, Budha, Konghucu bahkan suatu waktu bisa juga menerima eksistensi orang yang tidak mau beragama. Inilah Minahasa kita, sebuah “rumah bersama” ketika perubahan zaman tak terelakan lagi menjadi bagian dari Minahasa, dan ikut memperbesar Minahasa.

Kalau Minahasa dulu, kegemaran para muda mudi Minahasa adalah Kabasaran, Maengket, Mazani dll, maka Minahasa yang sedang menglobal, adalah muda-mudinya yang berinternet, berfacebook, berbloger, bercelana jeans, berkaos oblong, menjadi pemain pasar saham dari komputer yang terkoneksi internet di rumah, atau bahkan ada yang harus menjadi hacker dulu baru menjadi orang yang bisa mencipta google, yahoo baru.

Maka jangan heran, suatu waktu anak, atau cucu kita, akan berkata bahwa dia bukan sebagai warga negara Indonesia, melainkan berkewargaan bumi, karena dunianya tak lagi seluas dari sabang sampai merauke, tapi manusia yang tak lagi mengenal tapal batas. Itulah manusia Minahasa di abad 21, di era global dan posmo!

Bukit Inspirasi Tomohon, 4 Juli 2009

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun