Dunia kanak-kanak seharusnya merupakan bauran antara daya imajinasi sekaligus kenyataan. Keduanya memantik rasa bahagia, nyaris tanpa beban dan karena itu memandang dunia dari sudut yang berbeda, menimbulkan rasa ingin tahu dan citra keindahan. Dunia mereka dibangun dari pondasi kekaguman. Segala hal, apapun yang kita namakan dengan lingkungan, dalam persepsi kanak-kanak merupakan ruang untuk dijelajahi dan dieksploitasi dengan pengungkapan yang unik, diluar jangkauan nalar dan logika orang-orang dewasa.
Sastra adalah sebuah minat, salah satu jalan yang dapat mewujudkan dunia kanak-kanak menjadi lebih imajinatif. Selain sastra, tentu saja seni musik, tari dan seni rupa juga jalan lainnya yang dapat digunakan untuk membangun kreatifitas kanak-kanak. Sastra, secara spesifik menawarkan kemampuan dasar berpikir secara universal, mengajarkan pemecahan masalah dengan memantik jaringan-jaringan dalam otak untuk memberi narasi, membebaskan kepelikan menjadi suatu hal yang mudah untuk diselesaikan.
Anak-anak sangat suka kepada hal-hal baru sekaligus, apabila diberikan ruang bebas berpikir mereka juga akan dapat membuat hal-hal baru. Cerita anak terutama dongeng, sesungguhnya telah tumbuh sejak lama mungkin sudah sejak purba, seumur usia keberadaan manusia di muka bumi ini. Aktifitas mendongeng dilakukan lewat berbagai cara. Melalui nyanyian, lukisan dinding, pemanfaatan cahaya ataupun kegelapan, pembuatan boneka peraga, dan lebih modern kemudian dengan membacakan buku-buku dongeng yang dituliskan kembali untuk kebutuhan tersebut.
Di tengah perkembangan sastra dunia, sesungguhnya kita dilimpahi buku-buku cerita anak-anak dalam rupa dongeng terutama kisah-kisah populer pada masyarakat beberapa Negara. Selain cerita terjemahan, di Indonesia sendiri dapat kita temukan buku-buku sejenis namun berkonten lokal, apalagi melalui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada dekade 90-an pernah menerbitkan buku-buku dongeng secara massal dan disebar dengan masif ke seluruh wilayah Indonesia.
Kehadiran televisi dengan tayangan-tayangan yang tidak “ramah anak” akhir-akhir ini telah menimbulkan kekhawatiran bersama, terutama dikalangan pegiat peduli anak-anak dan remaja. Belum lagi selesai masalah pertelevisian, kini keberadaan gadget dengan akses internet dan serbuan aplikasi aneka game/permainan nyatanya telah menjadi bom waktu, mengancam hak-hak anak untuk memperoleh kebebasan berpikir, untuk sebebas-bebasnya berimajinasi. Mempertontonkan dunia orang dewasa kepada anak-anak sudah jelas merupakan sebuah kejahatan terselubung. Walau kemudian, beberapa tayangan televisi ataupun keamanan internet menuntut peran orangtua sebagai pengontrol maupun pendampingan, tetapi itu bukan jalan keluar bagi sebuah masalah yang berdampak lebih besar. Hal ini malah seakan menjadi sebuah paksaan. Karena itu, langkah paling bijaksana adalah jauhkan anak-anak dari segala hal yang akan membekukan imajinasinya, yang akan mengurung kemampuan otaknya yang masih muda.
Beberapa tahun terakhir di Sumatera Barat, melalui peran Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sumatera Barat telah dilakukan upaya perkenalan kembali aktifitas mendongeng, Membaca, Menulis dan kegiatan kreatif lainnya kepada kalangan anak-anak dan remaja. Selain Pemerintah, beberapa penerbit buku Nasional juga telah mengupayakan program yang sama dengan melibatkan anak maupun remaja sebagai kontributor, memfasilitasi cerita yang mereka tulis untuk kemudian diterbitkan secara besar-besaran. Langkah-langkah tersebut layak dan patut untuk didukung secara bersama sebagai sebuah pembangunan karakter generasi muda Indonesia, utamanya di Sumatera Barat.
Di tengah keantusiasan anak-anak pada kegiatan literasi, masalah lain yang harus dijelaskan adalah adanya perbedaan antara cerita anak dengan cerita yang ditulis oleh anak-anak. Tidak semua cerita yang ditulis oleh anak-anak dapat kita kategorikan sebagai cerita anak. Bagaimanapun kita kini dihadapkan kepada budaya hedonis dan matrelialisme sebagai dampak tayangan televisi di ruang keluarga kita. Belum lagi kecenderungan minat baca anak Indonesia yang masih jauh dari harapan. Sebab itulah, dibutuhkan upaya pendampingan dari berbagai pihak, komunitas literasi maupun Pemerintah. Pendampingan tersebut harus diprogramkan secara berkelanjutan. Pemerintah harus memfasilitasi penerbitan buku-buku cerita anak dan media massa harus bersedia membuka ruang untuk memuat karya-karya sastra anak.
Ke depan, melalui jaringan Perpustakaan Daerah se Sumatera Barat dengan mempergunakan anggaran dari APBD dan APBN, kita mengharapkan keseriusan Pemerintah untuk memprioritaskan kegiatan-kegiatan yang melibatkan anak dan remaja. Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sumatera Barat telah memulainya, ditandai dengan digelarnya sebuah Festival besar bertajuk Festival Sastra Anak dan Remaja (FSAR) Sumatera Barat 2016 beberapa waktu lalu.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H