Pembahasan kalau sudah menyangkut masalah uang, biasanya akan menjadi sesuatu yang sensitif. Bahkan sampai pada perdebatan sengit dengan berbagai alasan serta pembenaran menurut versi masing-masing pihak. Begitu juga dengan diskusi yang terjadi di salah satu grup Whatsapp, ketika sampai pada pembahasan mengenai sebuah dampak sebuah kegiatan antara yang berbayar dengan yang gratis. Diskusi berubah menjadi ajang adu argumentasi dengan berbagai alasan dari sudut pandang masing-masing anggota grup. Sebagian tetap memegang teguh prinsipnya bahwa kegiatan yang berbayar lebih baik daripada yang gratis, sedangkan pihak lain malah mengklaim yang sebaliknya.
Tapi saya tidak akan membahas masalah di grup tersebut, namun lebih kepada pengalaman pribadi yang saya alami. Beberapa kali pengalaman saya mengajak teman-teman untuk mengikuti sebuah seminar atau training pengembangan diri, pasti pertanyaan pertama yang mereka ajukan adalah “Berapa biayanya ?” atau “Gratis gak acaranya ?”
Kalau acaranya berbayar apalagi kalau harga tiket seminar tersebut lumayan mahal, umumnya mereka akan mundur teratur dan menolak untuk ikut dengan berbagai alasan walaupun materi yang disampaikan dalam seminar tersebut bagus dan dibawakan oleh trainer yang sudah mempunyai nama serta track record yang bagus. Ada ungkapan yang mengatakan bahwa harga berbanding lurus dengan kualitas, dan kalau kita ingin mendapatkan ilmu yang berkualitas maka memang harus ada harga yang mesti kita bayar.
Bagi saya pribadi ketika saya ingin mengembangkan diri dan belajar kepada para mentor dan guru saya, tidak pernah sekalipun saya mengatakan “Boleh saya minta tiket gratis seminar Bapak ?” atau “Bagi dong bukunya gratis Pak”. Sampai saat ini dan untuk ke depannya saya berusaha untuk menjaga agar jangan sampai saya mengatakan hal tersebut.
Mengapa? Pertama, saya menghormati diri saya sendiri. Karena kalau kita meminta-minta sama saja kita merendahkan diri kita sendiri dan tidak menghormari ilmu yang akan kita peroleh. Lebih baik saya berkata terus terang dan meminta keringanan untuk mencicil biaya sesuai dengan kemampuan saya pribadi.
Kedua, saya menghormati para mentor dan guru saya termasuk ilmu yang mereka miliki. Mereka dulunya ketika belajar dan mendapatkan ilmu tersebut juga pasti ada pengorbanannya. Silahkan saja Anda bayangkan berapa materi serta waktu yang telah mereka korbankan untuk menghadirkan ilmu dalam bentuk seminar atau buku tersebut kehadapan kita.
Ketiga, saya juga mengetahui bahwa hasil penjualan buku dan seminar tersebut bukanlah sepenuhnya menjadi hak para penulis atau trainer. Buku itu sepenuhnya adalah hak penerbit dan toko buku, penulis biasanya hanya dapat royalti sekitar 10%. Dan untuk seminar biasanya ada kerjasama dan bagi hasil dengan EO.
Berdasarkan pengalaman pribadi saya sendiri, akan lebih besar manfaat dan hasil yang saya dapatkan dari sebuah buku atau seminar yang berbayar daripada yang gratis. Karena kalau kita mengikuti seminar yang berbayar atau membeli buku maka secara tidak langsung kita telah menghormati diri sendiri, menghormati ilmu yang didapat serta menghormati mentor/guru, sehingga kita mempunyai semacam tanggungjawab moral untuk mengaplikasikan dan memanfaatkan ilmu yang didapat tersebut. Tidak percaya …??? Silahkan Anda buktikan sendiri.
Kalau pun suatu saat Anda diberikan tiket seminar atau buku gratis, ya tidak masalah (saya pun pernah mengalami dapat tiket dan buku gratis). Karena itu datang dari kerelaan dan keikhlasan orang yang memberi bukan karena kita yang mengemis dan meminta. Biasanya orang yang suka meminta-minta tidak akan mendapatkan apapun kecuali hanya pandangan remeh dari orang sekitarnya.
Jadi mulai sekarang hati-hati dengan mental gratisan.
(Tulisan ini pernah dimuat di Harian BERNAS Jogjakarta edisi Jumat, 17 Juni 2016 dengan judul “Menghargai Ilmu”)