Mohon tunggu...
denmpoer .
denmpoer . Mohon Tunggu... -

daily cyclist, bambu apus Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Jakarta dari Atas Sepeda - Banjir & Macet

28 Oktober 2010   04:04 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:02 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bukan sebuah rahasia atau tebak tebakan buah manggis kalau pas menjelang jam pulang kantor, katakanlah jam 3-4 sore hujan turun di Jakarta, maka kemacetan dan genangan air bahkan banjir akan melanda kota Jakarta ini. Meski walaupun tidak turun hujan kemacetan tetap terjadi akan tetapi jika turun hujan kemacetan semakin menjadi-jadi. Jika dilihat dalam kacamata yang sederhana, atau cara pandang orang awam kemacetan bisa terjadi karena:

  • Banyak atau mungkin sebagian besar pengguna jalan ingin segera sampai di rumah atau tujuan karena tidak mau terjebak berjam-jam di jalanan, terkadang perilaku pengguna jalan mengindahkan aturan sehingga terjadilah penumpukan, saling serobot bahkan tak jarang gesekan atau tabrakan.
  • Banyak pengendara motor yang berteduh di terowongan, jembatan penyeberangan bahkan sampai memakan setengah jalan.
  • Genangan air  yg tinggi sehingga pengguna jalan ragu-ragu untuk melewatinya atau bahkan terjebak di tengah genangan air.
  • Banyaknya informasi kondisi lalu lintas baik melalui Radio, TV, Internet yang mengabarkan di lokasi ini macet, di lokasi itu tergenang air sehingga semua orang berbondong-bondong mencari jalan alternatif  DAN pastinya jalan alternatif itu menjadi kemacetan baru.

Sebagai pengguna sepeda, jika anda bertanya apakah terkena imbasnya? Tentu saja, sama seperti pengguna jalan yang lain, harus berjibaku mencari celah diantara celah yang sempit, tak jarang harus rela menggotong sepeda karena begitu sulitnya mencari celah. Ketika semua orang di dalam mobil, di atas motor, di pengapnya KRL, berdiri di atas bus kota, kami pengguna sepeda punya kebebasan sendiri, dan rupanya mereka tak sadar BAHWA mereka semua bukan cuma sekedar korban kemacetan tetapi (Object) tetapi juga sebagai PELAKU/Penyebab kemacetan(subject). Terkadang  sebagai pengguna sepeda, kami asyik sendiri. Jalanan seumpama tempat bermain, bermandi air hujan, dan mungkin bahkan bersyukur dan berterimakasih telah memilih sepeda sebagai alat transportasi. Kami bisa berhenti di mana saja untuk sekedar minum kopi atau jahe panas  di tengah derasnya hujan dan teriakan klakson tanpa henti, atau mungkin sedikit bandel dengan naik ke trotoar, melawan arus tentunya dengan tidak mengganggu pengguna jalan lain. Dan sesekali di jalanan atau di lampu merah  tak sedikit yang mengacungkan jempol, atau mungkin bertanya-tanya " Apa enaknya sih naek sepeda?", " Apa nggak cape?", "Apa aman ya?"  dan bahkan mungkin ada juga yang berpikir " Saya juga besok akan naek sepeda!" Apakah sebagai pengguna sepeda kami membantu mengurangi kemacetan jakarta? TIDAK, menurut saya kalaupun iya, mungkin cuma seperseratus persen, menggunakan sepeda sebagai sarana transportasi adalah lebih kepada membebaskan diri  dari kemacetan, membebaskan diri dari ketergantungan, membebaskan diri dari segala hal keluh kesah kemacetan tanpa bertindak, dan membebaskan diri dari kebijakan pemerintah yang berputar-putar  dan tidak mempunyai keinginan berbuat untuk warganya. Mendengar dan membaca dari media, internet, banyak yang tidak mempunyai pilihan selain berdiam di jalanan berjam-jam, atau rela berjalan kaki beberapa kilometer atau berganti-ganti moda transportasi demi  hangatnya rumah.  Dan tak sedikit yang rela menunggu di kantor, di cafe-cafe, di warung-warung, di halte daripada terjebak di rimba belantara kemacetan dan genangan air. Tentunya pilihan kembali ke diri kita sendiri, apakah kita masih mau menjadi objek penderita? Sambil menunggu Pemerintah bertindak dan membuat kebijakan yang berpihak, mari kita mulai dari diri sendiri dan saya bukan tidak suka dengan kemacetan  tetapi saya lebih tidak suka dengan perilaku pengguna jalanan saat ini. Jadi idiom yang saya gunakan bukan lagi mari berbagi jalan (Share the road ) tetapi  Mari Berebut Jalan !! salam gowes denmpoer

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun