Mohon tunggu...
Stefanus Hari
Stefanus Hari Mohon Tunggu... -

Ada yg bilang Indonesia tidak dijajah ratusan tahun, karena VOC itu perusahaan bukan negara. hehehe perusahaan kok punya tentara? Sudah proklamasipun masih di agresi 2x. Saat inipun diagresi, mau tahu? follow me

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Assymetric Information di Partai Politik

19 Maret 2018   07:26 Diperbarui: 19 Maret 2018   08:54 448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Istilah assymetric information biasanya dipakai di bidang ekonomi untuk menggambarkan perbedaan informasi dan persepsi antara manajemen perusahaan dan investor. Assymetric information biasanya di proxykan sebagai bias antara kinerja dan prospek perusahaan dengan harga saham.

Dalam bidang politik khususnya partai politik berbasis Islam di Indonesia, saya melihat indikasi kuat telah terjadi assymetric information antara elit partai dan konstituennya. Simbol Islam seringkali hanya dipakai untuk jualan dan kampanye, tetapi dalam tatanan praktis, beberapa elit partai Islam justru mengkianati kepentingan konstituen sebagai investor atau pemegang saham. Elit partai yang dianggap sebagai manajemen dalam perusahaan tidak bekerja untuk kepentingan konstituen sebagai investor suara. Tetapi justru cenderung melakukan moral hazard untuk kepentingannya sendiri.

Dalam Agency Theory memang disebutkan manajemen mempunyai kecenderungan untuk menggunakan fasilitas perusahaan sebesar - besarnya untuk kepentingan pribadi. Hal inilah yang harusnya dihindari. Dalam partai politik, menghindari fenomena agency theory memang jauh lebih sulit. karena:

  1. Rapat pemegang saham hanya dilakukan lima tahun sekali.
  2. Pengurus partai dari ranting sampai pusat sebetulnya bagian dari manajemen, sehingga struktur partai mempunyai kecenderungan sama melakukan agency theory.
  3. Rapat luar biasa dan mekanisme kocok ulang sangat sulit berasal dari konstituen partai, tetapi seringkali hanya berupa konflik antar elit partai.

Contoh paling nyata dari assymetric information di partai politik berbasis Islam adalah saat Pilkada DKI 2017. Dimana elit partai politik berbasis Islam memilih pasangan Ahok Djarot yang secara platform dan basis massa berseberangan dengan Partai Islam. Terbukti hasil pilkada mayoritas muslim memilih Anies Sandi sebagai representasi suara muslim. 

Aroma memanipulasi suara umat muslim oleh elit partai Islam yang bergabung dengan koalisi Ahok Djarot sulit dibantah. Jika prestasi menjadi alasannya, tentu sangat debatable, karena buktinya banyak suara miring dari tidak memihak rakyat kecil, direktur BUMD yang didominasi etnis tertentu, kasus reklamasi, sumber waras, cengkareng dsb. Jika kepercayaan menjadi dasarnya, bagaimana mungkin lebih percaya pada orang lain dibanding dari kalangan sendiri?

Terbukti saat ini Anies Sandi menjadi gubernur, perlahan tapi pasti, keadlian sosial menjadi lebih pasti. Setidaknya tidak ada rakyat kecil yang dibantai masa depannya dengan cara memasukkan dalam rumah susun untuk kemudian menendang keluar dari Jakarta karena telat bayar uang sewa. Rumah susun di jaman Ahok, lebih mirip kamp konsentrasi untuk sejenak mengumpulkannya untuk kemudian dimiskinkan dan diusir dari Jakarta. Sebuah pengusiran yang sistematis dan prosedural untuk menutupi kejahatan kemanusiaan pada rakyat kecil. bahkan Presiden Jokowi yang tinggal di Jakartapun tidak sadar atas pengusiran sistematis dan prosedural tersebut.

Tidak semua partai politik berbasis Islam melakukan assymetric information, masih ada beberapa partai Islam yang konsisten membela umat Islam. Saat ini waktunya umat islam berpikir jernih, tidak terjebak simbol Islam tetapi dalam prakteknya justru memungsuhi kepentingan orang Islam. Peristiwa 411 dan 212 menyadarkan kita, bahwa konstituen Islam cukup terdidik, tidak anarkis, cukup punya uang dan rela berkorban. Jika gerakan 4411 dan 212 adalah prakarsa elit tentu akan membutuhkan dana besar untuk memobilisasi jutaan orang. Tetapi walaupun tidak ada simbol organisasi Islam, gerakan tersebut berhasil menggalang solidaritas umat islam. 

Akan lebih baik jika solidaritas tersebut tergalang sampai pilpres 2019. Karena kita tahu, betapa banyak pemimpin Islam yang lebih rela menjadi juru bicara tetangga sebelah dibanding menghargai umat sendiri. bayangkan saja, saat jutaan umat Islam resah atas simbol simbol agamanya dilecehkan. Orang tersebut lebih memilih kabur ke bandara. Tetapi kelompok lain diundang selfi dan membahas strategi pilpres di Istana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun