Gambar diatas adalah karikatur di media Tempo yang dianggap melecehkan simbol dan nilai Agama Islam.
Ok, kita tahu gambar menyindir Habib Rizieg yang saat ini berada di luar negeri. Kontroversinya mengapa beliau belum pulang pun masih debatable. Antara aparat yang dianggap tebang pilih sampai perlakuan yang dirasa tidak adil. Ekstrimnya, anggap saja chatting itu benar, tetapi bukan beliau yang menyebarkan ke publik. Jadi bagaimana mungkin korban pembunuhan karakter di media sosial justru dijadikan tersangka, sedangkan orang yang mem-viralkan sampai saat ini tidak tersentuh hukum.
Jika ada muslim yang tidak tersinggung dengan karikatur tersebut, mungkin waktunya intropeksi. Siapapun orang di karikatur itu, jelas memakai atribut ulama atau guru agama tertentu. Mungkinkah anda berpikir itu Ulama Kristen, katolik, Budha, Hindu atau lainnya? Secara jelas karikatur itu ditujukan pada Ulama islam.Â
Kemudian liat wanita yang didepannya, dengan baju serba terbuka dan menonjolkan sexualitas. baca juga narasinya. Sulit untuk mengelak bahwa itu bukan melecehkan agama tertentu di depan publik. Tindakan membuat permungsuhan pada kelompok tertentu, menimbulkan keresahan. Dimana aparat dalam kasus ini? Sejauh ini belum ada tindakan. Bandingkan dengan cuitan dunia maya pada kelompok tertentu yang begitu rajin di proses hukum. Tentu saja ironis, pelakunya nyata tidak perlu capek capek mencari cari didunia maya, tetapi sepertinya hukum tidak mampu untuk memprosesnya.
Saat FPI memprotes hal tersebut, maka tetangga sebelah akan segera mengingatkan stigma negatif tentang FPI yang telah mereka tanamkan.
Harus disadari saat ini banyak stigma negatif yang ditujukan pada umat Islam, salah satunya emosional, tidak toleran, teroris dsb. Walaupun sebenarnya itu stigma berbau fitnah. Fitnah karena kejadian yang sebetulnya frekwensinya sedikit, tetapi oleh media di framming untuk memberi stigma buruk pada 99% muslim yang baik, toleran dan rela berkorban untuk negara dan bangsa.
Bandingkan dengan para preman di hiburan malam dan tempat remang - remang yang didominasi pria sangar dengan kalung salib besar didadanya. Bukankah ciri itu yang terlihat di kasus tabrakan ahli IT dari ITB pada kasus Ahok? Masih ingat pulakah kita dengan John Kei dengan kalung salib nya? Tetapi tidak ada media yang membuat framming dengan agama tersebut.Â
Berbeda sekali dengan Haji Lunglung yang seringkali di bully dan di framming sebagai preman Tanah Abang. Sebuah framming yang tentu saja Jahat. Haji Lunglung memang sejak kecil dan banyak orang Betawi lainnya tinggal di Tanah Abang. Jadi salahkah jika Haji Lunglung dan kawan kawan berbisnis di kawasan Tanah Abang, Atau haruskah tanah abang menjadi pecinan dulu dan orang Betawi tidak boleh berbisnis?
Jangan heran pula jika saat Anies Sandi memberdayakan Tanah Abang dengan benar, banyak sekali yang panas hatinya dan memprovokasi. Kita sebenarnya tahu siapa yang suka memprovoksi dan membully keberpihakan Anies Sandi di Tanah Abang.
Framming dengan memberi stigma buruk pada muslim, selama ini berhasil memprovokasi beberapa elemen umat muslim untuk memberi reaksi yang dianggap berlebihan. Kemudian aksi yang dianggap berlebihan tersebut di framming lagi untuk membuat stigma buruk. Begitu siklusnya berulang, antara provokasi ==> Framming ==> Stigma buruk ==> provokasi.Â
Saatnya muslim menyadari siklus tersebut dan mencari jalan keluarnya. Sudah lama muslim tidak menguasai media, saat media konvensional bergeser ke media sosial, harusnya ini dijadikan momentum untuk muslim menghadapi provokasi tersebut dengan lebih percaya diri dan tenang. Tidak perlu berteriak - teriak atau ikut - ikutan membuat hoax. Ada banyak fakta yang bisa disajikan dengan elegan untuk menunjukkan pada publik siapa sebenarnya yang merongrong negeri ini. Siapa yang oportunis dan menghalakan segala cara untuk merampok dan memanipulasi kekayaan negeri ini.