Aku tak pernah mengenal nama lengkapnya,lelaki tua berumur sekitar 50 tahunan yang tak pernah lepas dari kopiah bulat itu kukenal dengan nama pak Udin.wajahnya selalu segar,sesegar tanaman serei yang begitu terlihat bergerombol hijau,yang ditanam berjajar disamping sofa panjang yang diletakkan menyamping dimarkas besar pak Udin.sebuah emperan apartemen pojok jalan bersebelahan dengan bank ar rajhi.senyumnya yang sumringah,mengalahkan lampu lampu mobil kepunyaan para penghuni apartemen yang tiap hari dicuci pak Udin dan air bilasannya disiramkan ke tanaman serei sereinya tadi."wuah banyak sampingannya ni pak.."candaku.."daripada bengong jadi penjaga imarah mas,kan lumayan begini.."jawabnya santai. Sejak tinggal di jeddah,memang seringkali kami mengobrol menghabiskan sisa waktu maghrib.logat sundanya yang kental,mengingatkanku pada salah satu pelawak tersohor "mang ibing".. "kapan hayang pulang?"tanyanya mengawali pembicaraan, "teu ngartos pak...mungkin 1 th lagi"jawabku waktu itu seperti biasa obrolan kami berlanjut hingga beliau bercerita tentang ketidak inginannya melanjutkan kerja di saudi. "Loh,emang kenapa pak?"selidikku.. "kasihan anak istri saya,mungkin saya bisa mencukupi segala kebutuhan hidupnya,tapi pasti sulit mencukupi kebutuhan akhlaq dan agamanya dari jarak jauh seperti ini..."ujarnya kata kata itu seakan menarik telingaku,hati ini bergetar begitu hebat,begitu aku sudah melupakan hal paling mendasar dalam hidup.karena selama ini hidupku sudah di kerumuni lalat lalat yang menulariku prinsip prinsip materialistis dengan mengabaikan akhlaq,tekanan ekonomi sudah bagaikan iblis yang menghembuskan bisikan makar dalam dadaku,gaya hidup metropolitan yang hedonis lebih mengedepankan gengsi,berbangga bangga di depan khalayak.astaghfirullah.... Lelaki tua ini memang sangat sederhana pemikirannya,bisa dilihat dari cara berpakaian dan penampilannya yang seadanya. "saya cuma ingin anak anak saya tak terpengaruh dengan kondisi anak anak sekarang.."pandangan matanya menatap penuh harap,perasaan generasi pendahulu yang kuatir dengan kondisi mental spiritual penerusnya.bentuk kasih sayang orang tua yang tiada tara,serta rasa tanggung jawab atas amanah yang diberikan.gunung gunung es yang membatu dalam tubuhku luluh lantah dan mencair mendengar kata kata sederhana tapi mengandung energi entah berapa newton ini. Derungan mobil mobil yang berlalu lalang di sitten street semakin ramai,wajah pak Udin yang sudah terlihat gurat keriput itu,menyerap kesegaran semilir angin dibalik rimbunnya pohon dari rumah sebelah.lampu lampu toko toko di sepanjang jalan mulai dipadamkan.pertanda adzan isya' segera menyapa malam indah hari itu,hari dimana syair syair keagungan pemilik Arsy merasuk dalam Qolbu lewat penuturanmu pak Udin...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H