Dibalik keprihatinan serta kesedihan mendalam atas kecelakaan yang menimpa pesawat Air Asia dengan nomor penerbangan QZ8501 tujuan Singapura dari Surabaya, ada kejadian menarik sekaligus memprihatinkan terhadap pemberitaan media televisi sehubungan dengan kejadian tersebut.
Selain soal etika penayangan jenasah penumpang oleh TV One yang banyak disayangkan oleh masyarakat pemirsa, beberapa komentar baik oleh reporter TV maupun anchor news terasa menggelikan maupun memprihatinkan.
Diantara komentar reporter TV yang terasa menggelikan yaitu saat reporter dari Metro TV melaporkan penemuan jenasah penumpang Air Asia. Saat itu dalam laporannya, reporter tersebut melaporkan bahwa 'telah ditemukan tiga jenasah dalam keadaan meninggal dunia'. Mungkin sekilas pirsawan tak menyadari keanehan kalimat yang disampaikan oleh reporter tersebut, tetapi bila dicermati kata per kata dari kalimat tersebut terutama kata jenasah dan kata keadaan meninggal dunia, bukankah penyampaian kata jenasah sudah menjelaskan kondisi para korban tersebut yang telah meninggal dunia, sehingga tidak perlu l;agi dipertegas dengan kalimat kondisi meninggal dunia. Bila itu adalah kesengajaan dalam pengucapannya berarti masih ada jenasah yang dalam kondisi tidak meninggal dunia.
Hal yang kurang lebih sama disampaikan seorang anchor news TV One saat mengulas kecelaakaan pesawa Air Asia. Ddisertai dengan gambar hologram untuk memperjelas ulasannya, anchor news tersebut mengatakan bahaw ada kabar menggembirakan dengan ditemukannya serpihan yang diduga milik pesawat Air Asia. Sebenarnya kalimat kabar menggembirakan relatif. Bila kalimat tersebut diutarakan kepada tim Pencari/SAR maka kalimat tersebut benar adanya, karena ada setitik harapan dalam menemukan pesawat Air Asia, tetapi bagi keluarga korban kabar tersebut bisa jadi menjadi kabar mengkuatirkan bahkan bisa jadi menjadi kabar duka.
Dalam jurnalisme televisi maupun radio, para reporter maupun anchor news dituntut melaporkan suatu kejadian dengan cepat secara langsung (live), apalagi persaingan pemberitaan antar media elektronik, membuat media berlomba lomba menampilkan suatu pemberitaan secara langsung dan cepat. Sehingga terkadang kejadian seperti tersebut diatas tak pelak lagi menimpa para reporter media elektronik.
Selain kemampuan empati dalam bertutur terutama dalam kejadian menyedihkan, para jurnalis media juga diharapkan memiliki kemampuan empati dalam penayangannya, sehingga jurnalis dapat memilah apa yang patut ditayangkan atau tidak.
Untuk itu butuh latihan empati secara terus menerus dari para jurnalis kita di tengah-tengah egoisme persaingan media saat ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H