Mohon tunggu...
Octavitriadi
Octavitriadi Mohon Tunggu... Tukang Ketik -

Tetap tukang ketik surat di sebuah kantor, bergabung di Kompasiana untuk menunjukkan eksistensi "Aku ngomPasiana maka Aku masih ada."\r\nSuami yang hingga saat ini memiliki seorang istri dan dua orang putri yang sama-sama manis.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Di Radio Aku Dengar...

16 Februari 2015   19:32 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:05 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Di tengah hingar bingar perayaan Hari Kasih Sayang tanggal 14 Februari lalu, peringatan Hari Radio se- Dunia pada tanggal 13 Februari terasa sepi. Padahal banyak sekali kenangan dalam hidup setiap insan yang berkaitan dengan radio, terutama di era sebelum tahun 2000 an.

Mungkin bagi  generasi tahun 70 s/d 90 an, kenangan akan radio sangatlah melekat dan tak mudah di lupakan, terutama pada era 80 - 90 an, dimana program acara yang sangat beragam dan kreatif banyak bertebaran di berbagai saluran radio yang saat itu hanya memiliki tiga gelombang radio yaitu AM, FM dan MW.

Diantara program yang menarik minat masyarakat bahkan menjadi program terpopuler saat itu ialah drama radio.

Dari Brama Kumbara hingga Sundelbolong

Salah satu drama radio yang sangat populer saat itu adalah serial "Saur Sepuh", kepopulerannya saat itu bahkan membuat satu desa sepi dan hanya terdengar suara radio yang menyiarkan acara tersebut. Saya masih ingat saat itu setiap jam istirahat sekolah pukul 9.30 pagi, kami bukannya bermain di halaman sekolah tetapi malah berlarian ke sebuah warung kecil di belakang sekolah hanya untuk mendengarkan episode terbaru dari serial tersebut, dan bukan hanya kami saja bahkan hingga para guru pun berkumpul di sana. Dengan ditemani es temulawak dan camilan gorengan yang dibeli, kami semua mengelilingi radio tarnsistor kecil  3 band (sebutan untuk 3 freukensi AM, FM, dan MW) dan imajinasi kami seakan berada di tengah tengah pertempuran antara tokoh utama yaitu Brama Kumbara melawan musuh besarnya yaitu Gardika (kalau tidak salah), dalam imajinasi kami yang digambarkan dengan suara dari pengisi suara drama radio tersebut terbayang ilmu ilmu hebat seperti lampah lumpuh, gelang-gelang, dan bayu bajra bertebaran dalam pertempuran itu.

Begitu populernya serial drama radio tersebut hingga dibuatkan versi layar lebarnya, karena saat itu saluran visual di televisi hanya satu yaitu TVRI, dan saat itu siaran TVRI sarat dengan program bernuansa pendidikan dan propaganda. Sehingga hanya versi layar lebarnya yang mampu memenuhi imajinasi para penggemar serial drama radio tersebut.

Kepopuleran serial sandiwara radio 'Saur Sepuh' kemudian diikuti oleh serial sandiwara bertema sejenis, yaitu sandiwara radio bertema satria berlatar belakang sejarah diantaranya 'Tutur Tinular', "Bende Mataram' dan bahkan kalau tidak salah salah satu serial silat populer saat itu "Api di Bukit Menoreh' pernah dibuatkan serial sandiwara radio. Hingga saat itu kami yang masih sekolah terkadang sulit membedakan mana fiksi, mitos, dan sejarah saking melekatnya pamor serial sandiwara radio.

Selain bertema silat, ada juga sandiwara radio bertema drama intrik dengan latar belakang modern seperti 'Butir-butir Pasir di Laut' bahkan ada juga sandiwara radio bertema mistik dan horor seperti 'Misteri dari Gunung Marapi' yang mempopulerkan tokoh Mak Lampir dan diikuti oleh drama radio dengan tema sundel bolong (saya lupa judulnya hanya tokoh hantunya saat itu saya ingat bernama Komariah dengan pangilan Kokom). Untuk drama radio bertema horor paling mengena saat di siarkan pada malam hari, dengan nuansa malam yang sepi dan yang terdengar hanya suara drama radio diiringi suara tawa sundelbolong,  membuat anak kecil seperti saya saat itu tak akan berani ke kamar mandi sendirian.

Kirim Lagu pake Martabak hingga Lomba Mirip Gombloh.

Selain drama radio, mungkin bagi yang merasakan masa muda di era 70-80 an tak asing lagi dengan program radio mengirim lagu bagi kekasih atau orang yang dicintainya. Tetapi karena saat itu yang memiliki telepon masih langka hingga acara mengirim lagu harus dilakukan sang pemesan dengan datang sendiri ke stasiun radio dan terkadang membawa buah tangan berupa martabak asin agar lagu yang diinginkan dan orang yang dituju dapat diputar oleh penyiar program tersebut. Tak jarang pula bukannya jatuh hati kepada yang mengirim lagu tetapi sang target hati malah kepincut kepada penyiar radio, yang dengan suara berat dan merdu membacakan pesan. Padahal kalau dalam masalah wajah terkadang jauh wajah dari suara.

Radio di era 70 s/d 90 an sangat menikmati kejayaannya di Indonesia. Di Jakarta saat itu ingat saya radio Prambors paling banyak penggemarnya terutama kawula muda (istilah anak muda saat itu) dengan acara baik on air maupun off air yang selalu dipenuhi para kawula muda. Sedangkan di Surabaya, radio Suzana lah yang paling populer di kalangan masyarakat dengan program acara on air nya seperti Bahasa Kocak nya Praktek Terang Kaisar, Drama Radio Kocak Trio Borolo, Bung Dino dan Suzan dan banyak lainnya. Bahkan saya masih ingat setiap acara off air halaman Taman Apsari yang terletak dekat dengan stasiun radio tersebut akan dipenuhi para penggemar. Acara off air saat itu (yang juga disiarkan live) berupa lomba-lomba dari lomba Bahasa Kocak yaitu bahasa Jawa/Indonesia yang diplesetkan menjadi bahasa negara asing seperti Ma Ling Seng, Chesempret Chervolet dll. hingga acara mirip tokoh seperti Alm. Gombloh seorang penyanyi legendaris asal Surabaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun