Mohon tunggu...
denli denli
denli denli Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Saya lahir di lahat, Sumatera Selatan pada tanggal 12 desember 1989. Sekarang saya sedang menempuh pendidikan di ITB jurusan Teknik Kimia angkatan 2007.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Nailah - 2011 Penyelamat Nyawa

31 Desember 2010   14:24 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:08 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Jadi kitaperlu menjaga hati dari cinta yang tidak seharusnya,” Ustad Froskhan menyimpulkan mentoring kami hari ini dan menutup pertemuan dengan Hamdallah.

“Akhirnya selesai juga Wat, kita bisa main basket sekarang,” ujar Leo. Leo adalah teman baikku, teman di rohis, dan juga teman satu kelompok mentoring. Aku dan Leo adalah siswa di SMA N 4 Lahat, Sumatera Selatan. Namaku sendiri adalah Wataru, aneh memang, tapi aku mensyukuri nama pemberian ibuku itu. Basket, menulis, dan mentoring adalah kegiatan rutinku setiap minggu. Aku dikenal cukup pintar, tidak begitu alim, ramah, dan usil, kombinasi sifat yang aneh memang.

Banyak yang bilang anak rohis itu tidak mengenal cinta semasa remaja. Pada saat mentoringpun Ustad Froskhan berulang kali mengingatkan untuk tidak terjebak cinta sampai kita benar-benar sudah siap. Seorang perempuan membuatku menjadi anak rohis yang merasakan anehnya cinta itu. Perempuan itu bernama Mio Fadlillah, adik kelasku sendiri.Awal kisahnya adalah sekitar lima bulan yang lalu ketika siswa baru masuk kesekolahku. Saat itu baru lewat dua minggu aku diangkat menjadi kepala divisi media rohis Ash-Shaff, rohis SMA-ku,dan aku mendapatkan sms tidak dikenal.

“Assalamualaikum kak, apakah siswa baru seperti saya boleh menyumbangkan tulisan di buletin Al Banna?”

Tak mengherankan aku sering mendapatkan sms mengenai buletin Al Banna karena nomor hp ku tertera di bagian kanan bawah buletin sebagai pusat informasi. Buletin Al Banna adalah buletin mingguan yang diterbitkan oleh divisi media rohis SMA-ku.

Kubalas sms itu dengan penjelasan cara-cara mengirimkan tulisan untuk buletin dan kuakhiri smsku dengan menanyakan identitas pengirim. Namun tidak ada balasan sama sekali. “Paling orang yang iseng aja,” batinku.

Sabtu siang jam 1, seperti biasa, aku memimpin penyusunan buletin Al Banna. Proses penyusunan dimulai dari pemilihan tulisan yang dikirim oleh para siswa. Leo membawa sebuah kotak pengumpulan tulisan yang biasanya menempel di dinding dekat pintu sekretariat rohis.

Akh Wataru, ini ada tulisan bagus, tapi tidak ada nama pengirimnya,” ucap Nurul, salah satu anggota divisiku, sambil menyerahkan secarik kertas. Kubaca tulisan itu, judulnya Qurotta Ayyun. Kubaca paragraf pertama dalam tulisan tersebut.

-----------------------------------------

Qurotta Ayyun

Sudah kenalkah anda dengan identitas sebenarnya dari perempuan? Allah SWT menciptakan perempuan pertama, Hawa, dari tulang rusuk Adam. Hawa berasal dari kata hayyun yang artinya hidup atau bisa dimaknai bahwa pada hakikatnya penciptaan perempuan adalah untuk selalu menampakkan kehidupan, selalu menunjukkan semangat, selalu memperlihatkan keceriaan, dan poin utama adalah Qurotta Ayyun, menjadi penyejuk pandangan bagi lingkungan di sekitarnya.

-----------------------------------------

“Tulisannya diawali dengan kata-kata yang cukup menarik, namun terlalu cepat menyampaikan gagasan utama, pasti paragraf berikutnya akan membosankan” batinku. Setelah membaca sampai tuntas, aku sadar pendapatku tadi salah. Paragraf demi paragraf berisi tulisan dengan ide-ide segar yang baru namun tidak keluar konteks besar mengenai Qurotta Ayyun. Seni menulis yang digunakan bervariasi, mulai dari sastra elok yang membuatku mendayu-dayu, bahasa lugas dengan definisi-definisi singkat, sampai analisis mendalam dengan paduan kata-kata yang sangat efektif. Kekagumanku yang utama bukan pada gagasan dan seni menulis, namun sihir yang diciptakan yang memain-mainkan perasaanku seenaknya. Di paragraf-paragraf awal, perasaanku dibuat tersentak dengan masih sangat minimnya pengetahuanku mengenai perempuan, lalu aku dibuat bergetar dan merinding dengan caranya menginterpretasikan ayat-ayat Quran, kemudian hatiku dibuat berseri-seri dan mulutku dibuat tersenyum dengan humor ringan, dan bagian akhir, sungguh sangat mengharukan, aku tidak bisa menahan air mataku keluar.

“Hei Wat, ada apa?” tanya Leo yang juga membuat aku tersadar dari dunia perasaanku.

Tanpa menjawab aku mengumumkan, “Subhanallah, tulisan ini aku tetapkan masuk di bagian utama buletin kita edisi ini!”

“Bukannya gak ada identitasnya ya? Nanti kita tulis dari mana dong sumbernya?”

Aku segera memeriksa setiap sudut kertas itu, namun ternyata memang tidak ada nama pengirimnya. Hanya ada tulisan “dari seorang perempuan yang berharap mendapat anugerah”.

Setelah merenung sejenak, aku mendapatkan ide, “buat aja Nailah sebagai nama pengarangnya.” Nailah berasal dari bahasa Arab yang artinya yang mendapatkan anugerah. Pemilihan nama itu sekaligus sebagai doa bagi pengirim supaya beliau mendapatkan anugerah yang terbaik baginya.

Sejak saat itu, hampir setiap minggu tulisan perempuan misterius itu terbit dalam buletin Al Banna. Dulu pembaca hanya penasaran dengan nama Shabwah, sekarang ditambah lagi dengan Nailah. Ohiya, sejak awal aku tak pernah menggunakan nama Wataru untuk tulisan-tulisan di buletin, aku hanya memperkenalkan nama Shabwah. Tentu seluruh anggota divisi media mengetahui hal itu, tapi aku minta dirahasiakan untuk menjaga keikhlasan dalam menulis.

-----------------------------------------

Tidak terasa tinggal 2 bulan lagi aku akan menyelesaikan SMA-ku. Aku sudah tidak aktif lagi di rohis, mengirim tulisan di buletin pun sekali-sekali saja. Aku benar-benar fokus mempersiapkan ujian akhir dan seleksi beasiswa ke ITB.

Pagi itu aku duduk di teras kelasku sambil menunggu waktu dimulainya tryout ujian akhir. Udara begitu sejuknya, beberapa teman sekelasku, seperti biasa, kebanyakan sedang membaca Alma’ Tsurat di dalam kelas. Kebetulan aku sudah membacanya usai sholat subuh tadi.

“Assalamualaikum” ada suara asing tapi merdu menyapaku dari belakang.

“Waalaikumussalaam” jawabku sambil berbalik menatap sang penyapa. Hatiku tergetar, untuk beberapa detik mataku tak bisa lepas dari wajahnya sebelum akhirnya kutundukkan pandanganku. Perasaanku terasa aneh, siapa dia?, yang pasti dia adik kelasku karena aku yakin mengenal semua teman seangkatanku.

“Ini kak, saya mau nitip buletin Al Banna dibagikan di kelas kakak.”

Kuambil buletinnya, sekarang aku yakin dia berasal dari divisi media rohis. Memang sejak keluar dari rohis aku tidak begitu memperhatikan organisasi tersebut.

“Baik dek, anggota divisi media ya?” kucoba membuka percakapan karena entah kenapa aku ingin lebih lama lagi didekatnya.

“Yupp, tapat sekali kak. Wah, mantan ketua divisi sudah tidak memperhatikan divisinya dulu toh.”

Aku tersenyum simpul, kuberanikan menatap wajahnya kembali, kali ini lebih lama. Aku merasakan ketenangan dan kesejukkan luar biasa. Seumur hidup aku belum pernah merasakan seperti perasaan seaneh ini, apakah ini yang dinamakan jatuh cinta?

“Maaf kak, buletinnya jangan diremas gitu dong, nanti gak kebaca.”

Mukaku merona merah, tanganku bergerak salah tingkah, dan tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutku saking bingung dan malunya.

“Udah dulu ya kak, bentar lagi tryout-nya akan dimulai, saya juga harus segera ke kelas. Terima kasih atas bantuannya.”

“Eh iya, sama-sama.”

Perempuan itu pun berbalik dan baru dua langkah berjalan aku menghentikan langkahnya. “Maaf dek, namanya siapa ya?”

“Bisa dilihat di buletin, yang bikin artikel di halaman 3,” sahutnya kemudian melangkah kembali. Mataku mengikuti langkahnya sampai ia menghilang di belokan ruang matematika.

“Ngapain wat tadi berduaan aja dengan Mio?” tiba-tiba Leo menghampiriku.

“Mio?”

“Iya, Mio Fadlillah, kamu gak kenal? Kamu terlalu fokus belajar nih, Mio itu anggota divisi kita dulu, divisi media. Dia cantik kan?”

“Hush, kamu ngomong apa sih lim, astaghfirullah,” aku beristighfar halus, namun ada rasa senang di dalam hatiku, aku dan dia sama-sama pernah berada pada divisi yang sama di rohis.

“Bercanda kok Wat, eh masuk yuk, bentar lagi tryout akan dimulai,” ujar Leo sambil melangkah ke dalam kelas.

Baru satu langkah mengikuti Leo aku baru ingat sesuatu, kubukabuletin halaman tiga. Judul artikel dan penulisnya tertera jelas di baris paling atas, “Sang Kekasih Allah by Nailah”.

Kalau tadi aku heran dengan perasaan anehku ketika bertemu dia, sekarang aku benar-benar terkejut mengetahui bahwa dialah penulis misterius yang tulisannya membuatku menangis, bahkan nama yang kuberikan padanya masih ia gunakan dalam tulisannya, Nailah.

“Mio Fadlillah atau Nailah, tulisanmu dan dirimu, keduanya telah membuat hatiku terpikat pada saat pertama kali aku membaca tulisannmu dan pada saat pertama kali aku melihat wajahmu,” ucapku dengan sangat pelan.

Dalam hati aku berdo’a, “Ya Allah, jika aku jatuh cinta, labuhkanlah cintaku pada seseorang yang melabuhkan cintanya pada-Mu.”

-----------------------------------------

Barokallah wat, kamu udah jadi sarjana nih,” ucap Miko Sucipta, teman satu jurusanku di ITB.

“Benar, aku sarjana sekarang.”

Aku menghela nafas panjang dan pikiranku menerawang jauh ke masa beberapa tahun yang lalu. Man jadda wa jada, barang siapa yang bersungguh-sungguh, maka akan mendapatkannya. Impianku untuk mendapatkan beasiswa ke ITB terwujud. Bahkan aku sudah tamat dengan predikat memuaskan, walaupun butuh 5 tahun.

“Hei Wat, kenapa kamu melamun? Aku tahu, memang berat wisuda tidak dihadiri emakmu, yang tabah ya bro.”

Aku membalas ucapan Miko dengan senyuman. Ada dua orang yang begitu ingin temui sekarang. Pertama adalah emakku di Lahat yang tidak bisa menghadiri wisudaku karena kondisi kesehatan beliau yang sedang tidak baik. Kedua adalah Leo, teman karibku di SMA, yang entah kenapa tidak bisa kuhubungi sejak tahun kedua kuliahku.

“Ayo Ko, kita pulang,” ajakku.

-----------------------------------------

Bismillahirrahmanirrahim

Aku telah siap berangkat. Pakaian yang kukenakan pagi ini cukup berbeda, kemeja muslim khas Rabbani berwarna merah marun dipadukan dengan celana panjang hitam. Pagi ini, 4 bulan dari kelulusanku di ITB, aku memberanikan diri menemui Idris, mahasiswa S2 di Universitas Padjajaran. Tujuannya adalah untuk mengatakan bahwa aku mencintai dan ingin menikahi Mio Fadlillah, adik kandungnya. Aku memang berhasil menahan rasa cintaku pada Mio selama lima tahun lebih. Aku tidak ingin terjebak dalam cinta yang tidak diridhoi Allah. Namun aku tetap tidak bisa melupakannya. Pertemuan tidak sengaja dengan Idris membangkitkan kembali harapanku padanya. Sekitar 1 tahun lalu, aku bertemu dengan Idris dalam pertemuan mahasiswa muslim asal Sumatera Selatan se-Bandung. Aku dari ITB dan Idris, yang 2 tahun lebih tua dariku, dari Unpad. Dari obrolan yangcukup singkat, ternyata Idris mempunyai adik yang pernah satu sekolah denganku yang bukan lain adalah Mio. Sejak saat itu kami cukup akrab, satu bulan sekali kami bersama-sama menghadiri pengajian Aa’Gym di Daarut Tauhid.

Kantin Masjid Salman ITB, itulah tempat aku dan Idris akan bertemu. Sengaja aku datang setengah jam lebih awal untuk mempersiapkan diri. Kupilih meja di pojok kiri karena disana nyaris tidak ada orang. Aku mulai berpikir mengenai diriku dan mencoba menguji apakah diriku layak untuk melamar Mio. Aku lulusan terbaik di SMA-ku, mendapatkan beasiswa ke ITB, belum pernah pacaran, sarjana dari salah satu kampus terbaik di Indonesia, sudah mendapatkan pekerjaan tetap, dan gemar menulis. Tanpa sadar aku senyum-senyum sendiri. Lalu kubuka ranselku dan kuambil beberapa lembar kertas dan itu adalah kumpulan tulisan Mio di buletin Al Banna. Setiap kerinduan datang aku pasti membaca tulisan-tulisan itu dan setiap membaca tulisan itu aku pasti menangis. Baru saja air mataku akan keluar, Idris datang menghampiriku.

“Assalamualaikum Akhi”

“Waalaikumussalaam Warohmatullah,” jawabku.

Kami berbincang-bincang singkat mengenai kabar dan aktivitas masing-masing sampai akhirnya aku memberanikan diri menyampaikan maksud sebenarnya.

“Kak Idris, dengan mengharapkan ridho dari Allah, aku sebenarnya ingin melamar adikmu, Mio Fadlillah untuk kujadikan penyejuk hatiku.” Tidak kusangka kata-kata tersebut mengalir dengan tegasnya dari mulutku. Kulihat Idris terdiam dan menunjukkan wajah yang lebih murung. Hatiku bertanya-tanya, apakah aku tidak pantas untuk melamar adiknya?

Subhanallah...Sungguh maha suci Allah. Aku sangat senang dengan kejujuran hatimu. Bagiku, tidak ada alasan untuk menolak lamaranmu. Aku kenal baik dirimu. Aku tahu keteguhan hatimu. Aku tahu perjuangan kerasmu dalam menegakkan Agama Allah. Aku tahu prestasimu-prestasimu. Hanya saja...” ucapan Idris terhenti.

“Ada apa kak?”

“Maafkan aku belum menceritakan ini padamu. Sekitar 3 minggu yang lalu, Mio sudah menerima lamaran dari orang lain. Pria ini adalah orang ketiga yang melamarnya.”

Aku sungguh kecewa, hatiku sakit sekali rasanya. Walaupun suaraku bergetar, kucoba bertanya, “Siapa pria beruntung itu?”

“Aku belum pernah bertemu dengannya Wat. Dia melamar Mio langsung di rumah, sedang aku berada di Bandung. Dari kabar yang kuterima, namanya Leo Ardiansyah, dia satu SMA dengan Mio dan berarti saru sekolah denganmu juga. Mungkin kamu mengenalnya.”

Jika tadi aku terkejut mendengarkan Mio sudah dilamar, sekarang aku jauh lebih terkejut. Jika tadi hatiku sangat sakit, sekarang beribu kali lebih sakit bahkan tersayat-sayat. Betapa tidak, ternyata yang melamar Mio adalah Leo Ardiansyah. Siapa lagi alumni SMA N 4 Lahat yang bernama Leo Mitra Ardiansyah? Leo adalah teman paling baikku di SMA, teman mentoringku, teman satu tim basketku dan teman di divisi media rohis Ash-Shaff. Yang lebih menyakitkan adalah Leo tahu betul perasaanku pada Mio karena hanya kepadanyalah dulu aku berani menceritakan bahwa aku mencintai Mio. Apakah ini alasan Leo tidak pernah bisa kuhubungi selama ini? Sungguh rumit bagiku mengartikan makna cinta dan persahabatan saat ini.

Malam harinya dengan perasaan sakit aku berjalan tanpa arah. Entah berapa lama aku menyusuti trotoar hijau yang dibuat pemkot Bandung untuk jalan sepeda itu. Di jalan Ganesha aku berbelok dan akhirnya tiba di Masjid Salman ITB. Tempat dulu aku tinggal. Aku naik ke atap gedung lantai 5 dan duduk termenung beberapa saat. Aku berjalan ke pinggir dengan pikiran meraba-raba, “Apakah sebaiknya aku loncat saja dari lantai lima ini?” Tidak lama pikiran jahat merasukiku terdengar letusan bunga api kencang sekali, indah sekali, berwarna warni. Pemandangan ini terus berlangsung, 5 menit, 10 menit, 25 menit...akhirnya berhenti juga. Aku baru tersadar bahwa malam ini tahun baru. Secepat luncuran kembang api tadi pikiranku menjernih. “Biarlah semua kekecewaan dibawa oleh kembang api hilang bersama satu tahunku, saatnya mencari Nailah sebenarnya, saatnya menemukan kebahagiaan di 2011”

tag: iboldnewblogging

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun