Aku datang dari embun dini hari. Menggeliat sejenak di rimbunan belukar yang kutemui pertama kali.Â
Kami bercengkerama. Saling membasah.
Belukar bercerita tentang kecewanya. Kemarin siang matahari datang penuh kemarahan. Dibawanya debu jalanan untuk menutup pori-pori. Belukar tersesak namun tetap terdiam.Â
Kutanyakan kenapa tak melawan? Bukankah kau memiliki duri tajam?Â
Belukar tertunduk. Dengan suara perlahan dia katakan mencintai matahari.Â
Kali ini aku yang jadi terdiam. Heran.Â
Saat jelang hiruk pikuk pagi, kuintip matahari yang seolah enggan bangun. Kulihat cahayanya begitu indah melukis awan. Saat bersamaan kutoleh belukar. Tampak dia terpana menatap langit. Matanya penuh binar. Tak digubrisnya saat kusapa.
Aku kemudian diam-diam pergi ke balik dedaunan. Â Disitu kutulis catatan belukar dan matahari. Sampai pada kalimat terakhir, aku masih mencari maknanya.Â
Esok dini hari aku akan keluar lagi bersama embun. Dari kejauhan, aku hanya ingin lihat belukar saat jelang hiruk-pikuk pagi. Aku terpikir yang indah itu bukan lukisan  cahaya di langit, melainkan detik-detik belukar menatap matahari.Â
____Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H