Masalah petani dan pekerja di sektor industri tembakau bukanlah pengaturan masalah konsumsi tembakau yang disusun dan dikembangkan oleh pemerintah selama ini. Ada hal lain yang membuat pekerja industri rokok terancam mata pencahariannya dan petani tembakau terancam peri kehidupannya.
Pekerja industri tembakau merugi karena proses mekanisasi industri untuk meningkatkan produksinya dan memenuhi tuntutan konsumsi industri tembakau secara global. Ketatnya regulasi di negara-negara maju memaksa industri rokok melakukan intensifikasi produksi di negara-negara berkembang. Mereka melakukannya dengan melakukan relokasi modal dan meningkatkan produksi melalui mekanisasi. Penggunaan mesin sangat membantu peningkatan produksi pabrik-pabrik mereka. Bayangkan rata-rata pekerja buruh linting rokok hanya bisa memproduksi rokok sebanyak 325 batang per jam, kalah jauh jika dibandingkan mesin yang mampu menghasilkan 20.000 cpm (cigarette per menit) atau 1,2 juta batang per jam.
Proses mekanisasi inilah yang menjadikan beberapa pabrik justru mengambil langkah untuk merumahkan pekerjanya dan bukan karena pengurangan konsumsi. PHK terhadap pekerja dan buruh industri rokok sejatinya bukan karena kerugian yang dialami perusahaan namun didorong oleh target untuk meningkatkan produksi untuk memenuhi kebutuhan pasar yang tidak pernah jenuh.
Peningkatan produksi ini pula yang mendorong industri melakukan impor untuk memenuhi defisit produksi Tembakau. Dan pada saat ini pula, petani juga dirugikan karena banyaknya impor yang dlakukan oleh industri rokok. Kebijakan impor mengakibatkan banyak tembakau yang masuk ke indonesia dan ini mengurangi daya tawar tembakau lokal. Pertama, impor membuat supply di pasaran menjadi overload dan pada akhirnya mengurangi permintaan kebutuhan daun tembakau. Jika sudah oversupply maka harga akan turun hingga merugikan petani. Tembakau petani lokal akan sulit bersaing dengan tembakau luar yang harganya lebih murah. Persoalan yang dihadapi petani juga sebetulnya masalah klasik yang juga dihadapi oleh petani lain. Nyaris tidak ada proteksi dari pemerintah untuk mengatur tata niaga tembakau dari banjir produk luar negeri.
Sehingga dari dua data ini sebetulnya biang kerok kerugian pekerja dan petani bukan karena gencarnya ‘faktor luar’ yang biasanya dituduhkan kepada upaya pengendalian tembakau, namun lebih kepada dinamika internal yang yang terjadi di dalam tata niaga dan industri tembakau. Solusi bagi petani dan industri rokok ada pada kehadiran negara untuk meregulasi pola tata niaga pertembakauan dan pengaturan hubungan antara pekerja industri dengan pemilik industri rokok. Pembatasan impor daun tembakau dan penyiapan alternatif pekerjaan bagi pekerja industri adalah salah satu dari sekian upaya kongkrit membela dan memberdayakan petani tembakau dan pekerja industri rokok.
Menyalahkan pengendalian tembakau terhadap maraknya PHK di pekerja industri tembakau terhadap gencarnya upaya kesehatan dengan pengendalian tembakau sama sekali tidak relevan karena inti permasalahan bukan disitu. Laksana orang sakit pilek dan influenza tentu tidak akan sembuh dengan meminum obat diare atau muntaber.