Seminar ini diselenggarakan oleh Indonesia Center of Democracy, diplomacy, & Defense (IC3D) pada hari selasa tanggal 27 september bertempat di hotel bidakara, Jakarta. Hadir sebagai pembicara adalah Bapak Triyono Wibowo (Wakil Menteri Luar Negeri RI), Bapak Teuku Faizasyah (Staf Khusus Presiden RI bidang HI sekaligus Jubir Menteri Luar Negeri), Muhammad Najib (Anggota Komisi I DPR RI), Ikhsan Modjo (Dosen dan peneliti senior financial reform institute), Bantarto Bandoro (Dosen HI President University), dan Begi Hersutanto (Direktur IC3D bidang ekonomi dan pertahanan). Lingkungan strategis RI di kawasan regional maupun global saat ini telah berkembang sangat pesat. Sementara di kawasan di mana kita berada yakni asia tenggara walaupun republic Indonesia telah berkembang menjadi semakin demokratis, namun kita masih menghadapi berbagai krisis regional yang belum terpecahkan. Antara lain, konflik perbatasan, krisis HAM, termasuk krisis di laut china selatan yang melibatkan Republik Rakyat China sebagai Negara yang berpeluang menjadi adi kuasa di masa depan. Bagaimana diplomasi republic Indonesia menyikapi semua perkembangan semua ini? Itulah tanda besar yang disampaikan oleh direktur executive IC3D, Teuku Rezasyah dalam membuka seminar sehari “Kilas balik kinerja politik luar negeri Indonesia: Optimisme di tengah globalisasi” di Ruang Pulon Hotel Bidakara, Jakarta. Selanjutnya, Bapak Triyono Wibowo menjelaskan dengan jargon “thousand friends zero enemy” pemerintah Indonesia memiliki kekuatan diplomasi yang lebih kuat. hal ini lebih kepada kondisi Indonesia sebagai Negara yang mampu menunjukkan sebagai Negara yang demokratis dan menjunjung tinggi HAM di dalam negeri. Terlebih jika dibandingkan dengan kondisi Indonesia sebelum era reformasi. Sebagai contoh sederhana, pada masa orde baru seluruh kebijakan luar negeri ditentukan oleh dua pihak yakni kementerian luar negeri dan keluarga cendana. Sedangkan pada era reformasi saat ini justru melahirkan actor-aktor baru dalam penentuan kebijakan luar negeri Indonesia. Actor-aktor tersebut adalah eksekutif, legislative, akademisi, pers dan LSM serta masyarakat umum lainnya. Dengan jumlah stake holder kebijakan luar negeri tersebut di sisi lain menambah prosedur yang cukup panjang. Namun demikian, sangat membantu untuk memastikan proses nilai-nilai universal (internasional) yang demokratis berjalan di era reformasi ini. Tidaklah mengherankan jika keberhasilann proses demokrasi domestic Indonesia mendekatkan Negara Indonesia kepada dunia internasional. Keberhasilan demokrasi domestic inilah yang menjadikan Negara Indonesia saat ini menjadi salah satu Negara yang selalu dilibatkan dalam pembahasan isu-isu global di dunia internasional. Sehingga pada saat ini, Salah satu tantangan dalam diplomasi luar negeri Indonesia adalah proyeksi nilai-nilai yang kita miliki untuk disampaikan keluar, nilai domestic dapat mempengaruhi Negara-negara lainnya. Seperti nilai demokrasi yang dimiliki Indonesia saat ini sepatutnya ditatakan di tatanan regional. Dengan demikian, maka Diplomasi adalah ujung tombak untuk kepentingan nasional tersebut dengan suatu proyeksi tentang “virusisasi” nilai-nilai domestic untuk keberlangsungan kehidupan berbangsa di dunia regional dan internasional. Proyeksi nilai-nilai domestic untuk diterapkan di dunia internasional menjadi cita-cita strategis jika melihat kepada tesis fukuyama dalam bukunya “perbenturan peradaban” yang menegaskan tentang persaingan internasional pada abad ini adalah persaingan kekuatan cultural dan kekuatan konfiusme; yang ditandai dengan kekuatan cultural adalah islam dan konfiusme adalah china. Hal ini selaras yang disampaikan oleh Muhammad Najib dengan mengutip rekomendasi terpenting dari Huntington yang memetakan bahwa pasca-Perang Dingin tidak berarti tumbangnya blok Timur yg sosialis-komunis dan langsung mengubah wajah ke arah kapitalisme-Barat. Ada kecenderungan negara-negara bekas blok Timur itu akan mencari identitas masing-masing yg boleh jadi kembali ke identitas masa lalunya. Timur-Tengah akan kembali ke Islam Cina ke budaya leluhurnya dan bermuara pada terjadinya ‘perbenturan peradaban’. Sehingga tantangannya bukan lagi tentang ideology seperti sosialis komunisme. Selain itu, pembicara menegaskan bahwa pada masa sekarang, Negara-negara tidak lagi berbasis kepada ideology akan tetapi multipolar yang cenderung regionalisasi berdasarkan kepentingan nasional masing-masing. Era ini tidak ada satu pun Negara yang obsulte lawan dan absolute kawan. Semua Negara bergerak murni berdasarkan kepentingan nasional negaranya. Salah satu contohnya adalah AS menyebut iran sebagai musuhnya akan tetapi dalam waktu bersamaan, perusahaan2 AS didorong menbangun kerja sama dengan Negara iran. Sehingga dalam penutupannya menyampaikan harapan bahwa pasca 2014 para elite politik khususnya dan rakyat Indonesia umumnya harus berhenti memberikan wacana politik reformasi. Negara harus mulai bergerak kepada arah pembangunan yang lebih focus dan tertata tanpa gonjang-ganjing wacana politik reformasi saat ini. Hal ini pun diamini oleh Bapak ikhsan Modjo yang menjelaskan bahwa isu di hamper seluruh Negara khususnya Indonesia sejak tahun 2009 lebih kepada isu tentang ekonomi global, bukan lagi isu ideology dan agama. Sehingga sepatutnya Indonesia wajib bergerak dalam pergerakan politiknya baik domestic dan regional serta internasional berbasiskan ekonomi. Begitu pun dengan yang disampaikan Bapak Teuku Faizasyah yang menyoroti pada masa kini sudah tidak ada lagi negara super power. Hal ini terlihat dari fenomena kemajuan beberapa Negara sebagai bentuk pertumbuhan kekuatan baru di dunia secara ekonomi. Contohnya china, india dll. Hanya kekuatan militer berbasis regional seperti NATO yang masih bertahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H