Mohon tunggu...
Denis Guritno Sri Sasongko
Denis Guritno Sri Sasongko Mohon Tunggu... Guru - Pendidik dan Pembelajar

Belajar menulis populer di Komunitas Guru Menulis dengan beberapa publikasi. Pada 2020, menyelesaikan Magister Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial di Universitas Indraprasta PGRI.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Masa Prapaskah: Perkara Selfie, "Laku Tapa" dan "Olah Kanuragan" (1)

13 Februari 2016   10:04 Diperbarui: 25 Februari 2016   10:08 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Artist: Paolo Veronese Start Date: 1580 Completion Date:1582 Style: Mannerism (Late Renaissance) Genre: religious painting Technique: oil Material: canvas Dimensions: 248 x 450 cm Gallery: Pinacoteca di Brera, Milan, Italy"][/caption]

Selamat pagi

Tulisan ini adalah tulisan saya yang saya maksudkan untuk membuka masa "laku tapa" dan "olah kanuragan" saya. Konteksnya tentu dalam tradisi Katolik. Rabu kemarin, semua umat Katolik dan beberapa tradisi Krisitani sudah mengawalinya dengan menerima abu di dahi. Perkara sesudah penerimaan abu di dahi lalu selfie, saya pikir yang penting dilakukan setelah ibadah. Tidak lucu kan kalau waktu maju, lalu "cekrek" jadilah foto dengan bibir monyong ala duck face. Parahnya, ada pula yang dengan snapchat berkicau ringan, "eh... aku habis terima abu loh." Lalu, share... Hahaha... Bagi saya, itu urusan masing-masing. Perkara riya atau nggak itu silakan ditafsirkan saja karena bukan itu yang penting. 

 

Prapaskah: "Laku Tapa", "Olah Kanuragan", dan perkara Selfie

Menyebut masa prapaskah, saya teringat beberapa buku yang ditulis oleh Bastian Tito. Istilah laku tapa dan olah kanuragan rasanya tepat dipakai. Mengapa? Bagi saya, dua istilah ini mewakili apa yang didengungkan Nabi Yoel, "koyakkanlah hatimu dan jangan pakaianmu." Jangan sekadar bicara soal hal fisik saja, tapi mari masuk dalam perjumpaan pribadi antara Yang Empunya Hidup dan saya. Nah, kalau bicara selfie setelah terima abu. Boleh ditempatkan dalam konteks ini. Senada dengan hal itu, salah seorang pakar mikroekspresi dalam wawancara dengan Fenie Rose (maaf saya lupa namanya) sempat bilang bahwa dari apa yang diungkapkan secara nyata, itu hanya mewakili 10% dari apa yang dikatakan. Bayangkan, dengan ekspresi selfie, hanya 10% yang terwakili. 90%nya kemana? Untuk itulah saya tidak pernah mau ambil pusing dengan yang namanya selfie. Selfie hanyalah perkara trend. Perkara yang tidak terlalu penting untuk diulas. Pertobatan? Ah saya rasa, untuk menyambungkan dengan laku tapa dan olah kanuragan itu, butuh sekian banyak clue, othak-athik gathuk, dan mungkin terlalu mengada-ada. 

Perkara "olah kanuragan" pun diulas dengan baik oleh St. Paulus. Rasul ini sangat militan, namun mendalam dalam olah batin. Dalam 2 Kor 5:20-6:2, diterangkannya dengan indah bahwa yang namanya pertobatan bukan semata-mata meminta maaf dan memperbaiki kesalahan yang telah dilakukan. Pertobatan juga berarti pendamaian. Dan lebih dalam, membiarkan diri didamaikan oleh Allah. Ini yang berat. Mengapa? Karena meski didengungkan ulasan-ulasan dan ajakan untuk kembali mengolah rasa, mengolah kepedulian, dan mengolah sense. Jujur, hidup juga mengundang kita untuk mematikan rasa perasaan itu. Apa sih yang namanya rela? Kalau tidak benar-benar saleh, mungkin ini berat dilakukan. Namun, justru itulah dalamnya pengalaman iman Paulus. Pertobatannya dalam perjalanan ke Damaskus menunjukkan bahwa semuanya sangatlah mungkin kalau membiarkan Allah sendiri yang bekerja. Hidup Paulus buktinya. 

 

Minggu I Prapaskah: Kisah "footprints" dan Padang Gurun

Bagi yang sering sekolah minggu, pernah dengar kisah footprints? Asal muasal kisah saleh ini dikarang oleh Margaret Fishback, seorang guru SD Kristen untuk anak-anak Indian di Kanada. Tubuhnya sangat pendek. Untuk ukuran orang Kanada, ia terbilang kecil, ramping, dan wajahnya halus seperti anak kecil. Tentang Margaret, tidak akan saya ulas. Namun potongan kisah ini kurang lebih diakhiri dengan suatu pertanyaan, "Tuhan, Engkau berkata ketika aku berketetapan mengikut Engkau, Engkau akan berjalan dan berbicara dengan aku sepanjang jalan, Namun ternyata pada masa yang paling sulit dalam hidupku hanya ada satu pasang jejak. Aku tidak mengerti mengapa justru pada saat aku sangat membutuhkan Engkau, Engkau meninggalkan aku?" Lalu pertanyaan ini dijawab oleh Tuhan berbisik, "Anakku yang Kukasihi Aku mencintai kamu dan takkan meninggalkan kamu. Pada saat sulit dan penuh bahaya sekalipun. Ketika kamu melihat hanya ada satu pasang jejak. Jejak itu adalah ketika Aku menggendong kamu." Saleh bukan? Dan itu yang diulang-ulang diperdengarkan, seolah-olah menjadi "obat" bahkan menurut Marx, kisah kesalehan seperti ini bisa menjadi candu yang meninabobokan. 

Mengapa kisah itu menjadi candu? Bukankah baik, kalau di setiap momen-momen sulit hidup kita, kita disadarkan bahwa saat itulah Tuhan mengambil perannya sebagai Yang Maha Hidup dan Maha Mengetahui? Alangkah indahnya bukan kalau Tuhan benar-benar berperan dalam setiap persoalan hidup yang nyatanya dihadapai ciptaanNya. Marx menjawab bahwa dalam kisah-kisah saleh semacam itu, orang tidak mampu keluar dari kenyamanan dirinya. Orang dininabobokan untuk tidak keluar dari "zona nyaman"nya dan berani menghadapi persoalan hidup, bahkan jika disitu ada ketidakadilan. Apa benar demikian? Kita simpan sejenak pendapat Marx yang saya bahasakan ulang tadi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun