[caption caption="The Return of The Prodigal Son (sumber: rembrandtpainting.net)"][/caption]
Semalam, ada yang menarik dari tontonan Mata Najwa, 2 Maret 2016. Temanya adalah soal Wajah Penjara. Tempatnya di Tanjung Gusta, Medan. Najwa membukanya dengan narasi. "Penjara bukan hanya untuk menghukum para kriminal, juga agar mereka tak selamanya menjadi bebal. Pemenjaraan memang sebentuk hukuman, namun bukan tempat dendam dilampiaskan. Itulah gunanya lembaga pemasyarakatan agar para napi bisa belajar hidup kembali." Tayangan ini dapat ditonton pada laman berikutÂ
Sayang dan miris pada tayangan beberapa segmen berikutnya ditampilkan wajah penjara Indonesia. Untuk kapasitas sebanyak 1000an orang, hotel prodeo ini didiami 3000an orang. Maka, tak heran kalau para napi kriminal umum menghuni ruangan yang seharusnya dihuni tak lebih dari 20 orang. Nyatanya, satu ruangan bisa dihuni 40an orang. Jangankan nyaman untuk tidur. Untuk merebahkan diri saja harus seperti ikan pindang yang dijejer rapi untuk dijemur.Â
Lain kriminal umum, lain mereka yang sudah lanjut usia tapi harus juga meringkuk di penjara. Sedikit lebih nyaman, namun mereka harus dipisahkan supaya tidak dipalak. Wajarlah. Untuk pelaku korupsi, latar belakangnya tentu berbeda dengan orang kebanyakan. Mereka, pelaku tipikor, yang sudah diputus tampak jauh beda, minimal dari cara berpakaian saja.
Saya sangat tertarik ketika di sela-sela sidak itu, Pak Yassona Laoli berpendapat bahwa soal remisi. Setiap napi yang ada di dalam penjara memiliki hak yang sama. Menganalogikan yang sama dengan masalah agama, kurang lebih pendapat pak menteri ini mengikuti pola yang sama. Ada kesalahan, ada hukuman. Jika berkelakuan baik, tentu ada pengampunan.Â
Â
Lukisan Rembrandt, "The Return of The Prodigal Son"
Setelah menulis beberapa kisah lalu yang kurang lebih membawakan tema pertobatan, saya pikir kisah Injil yang akan dibacakan pada hari Minggu nanti menggemakan hal yang sama. Idenya adalah soal kebaikan Tuhan, terutama pada pendosa yang mau berbalik pada-Nya. Aneh memang kisahnya karena sesudah si bungsu meminta jatah warisan. Seharusnya tentu hal ini tak sopan dan etis. Nyatanya setelah pulang lagi pada sang Ayah, si bungsi tetap kembali dirayakan. Kisahnya jadi bermakna lain. Antara ajakan untuk kembali bertobat seperti si bungsu, atau juga jangan bersikap seperti si sulung. Nyatanya kalau Tuhan itu baik pada siapa pun yang Ia mau, ya suka-suka Dia tentunya.Â
Kisah serupa tentunya bisa dijumpai dalam Kitab Suci. Kita ingat kisah etiologis Kain dan Abel. Belum lagi Esau dan Yakub. Belum kisah Yusuf. Paling tidak, kisah Injil yang dibacakan ini menggemakan tema yang serupa. Gema pemikiran dalam Kitab Suci Perjanjian Lama bisa kita pahami demikian. Jika orang melakukan kesalahan, ia pantas menerima hukuman. Untuk itu, berbuatlah baik. Dengan demikian, pahala pastinya datang sebagai balasannya. Frame inilah yang membatasi pemikiran dan cara kita menelaah kejadian-kejadian yang ada di sekitar. Meski di kemudian hari, Pemazmur juga menggemakan keluhan. "Kok orang yang baik tertimpa musibah?" Hal ini tampak pula dalam kisah ratapan Ayub. Tak heran ada ratapan itu karena dengan skema ini pulalah Perjanjian lama menggemakan cara orang menilai perilaku hidup orang lain.
Bagi si Sulung, si Bungsu ini jelas-jelas bukan anak yang berbakti. Sudah tak sopan meminta warisan, alih-alih membantu pekerjaan sang ayah, ia justru pergi bersenang-senang dengan warisan yang didapat. Malangnya, habislah warisan itu dan bahkan harus makan dari makanan yang sebenarnya untuk ternak. Di kampung, meski warisannya sudah berkurang, sang ayah dan orang-orang upahannya pun tetap bisa makan dan hidup layak.Â
Mari tidak terburu-buru mengatakan bahwa ini adalah hukuman dari Yang di Atas. Kita bisa mengatakan itu, tetapi untuk ukuran kita sekarang, kemalangan ini tak lain adalah akibat. Akibat dari tindakannya yang tidak dapat mengontrol pengeluaran warisan yang diterimanya untuk hal-hal penting. Lha giliran anak yang macam ini kembali, kenapa yang terjadi malah justru sebaliknya. Sang ayah berlari-lari menyambut. Bahkan sebelum si bungsu mengatakan apa-apa, si anak sudah diberi sepatu, cincin, jubah kebesaran. Lha wajar, irilah si sulung. Untuk bejatnya si bungsu, opo tumon? Mestinya si bungsu dapat hukuman setimpal.Â