Mohon tunggu...
Denis Guritno Sri Sasongko
Denis Guritno Sri Sasongko Mohon Tunggu... Guru - Pendidik dan Pembelajar

Belajar menulis populer di Komunitas Guru Menulis dengan beberapa publikasi. Pada 2020, menyelesaikan Magister Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial di Universitas Indraprasta PGRI.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Jessica: Konspirator Ulung dan Marketing Kopi

6 Februari 2016   11:04 Diperbarui: 6 Februari 2016   19:12 1646
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Sebenarnya, siapa toh Jessica sebelum kasusnya menyeruak? Mengapa kok begitu hebohnya berita sana sini dengan analisis tajam dari para ahli yang terpercaya di bidangnya. Saya berpikir, punya kedudukan di pemerintahan ya ndak. Punya jabatan ya ndak. Punya kepentingan ini dan itu dalam dunia bisnis dan politik ya ndak. Siapa pula Mirna, Arief suaminya, Sandy Salihin saudara kembarnya, pun pula tanpa mengurangi rasa hormat saya, Darmawan sang ayah. Bagi saya, mereka kok ya bukan siapa-siapa. Mereka tidak ada urusannya dengan pengembangan kereta cepat Jakarta Bandung. Mereka pun tidak ada kepentingannya dengan pengembangan dunia bisnis. Belum lagi, mereka pun tidak ada urusannya dengan ekspansi perluasan semantik bahasa dan gejala bahasa di Indonesia. Kepentingan keluarga Mirna hanya satu. Menguak, siapakah pembunuh Mirna dan membiarkan si pembunuh mendapat hukuman setimpal.

Namun, di sinilah uniknya. Perkara Jessica bak kasus maha luar biasa sehingga tak lama berselang aksi “heroik” teroris di Thamrin, kasus ini hampir diberitakan dan diulas secara detail di berbagai media. Salah? Tentu tidak. Tidak ada yang salah dengan pemberitaan itu. Siapa tahu dengan adanya Jessica, perkembangan ilmu psikologi makin punya perluasan. Ilmu hipnoterapi makin punya posisi yang penting. Belum lagi para pakar mikroekspresi makin diakui publik. Tak ketinggalan, mungkin ada varietas kopi baru yang bisa ditanam dan terhidang di meja penikmat kopi. Kopi Sianida. Pastinya, mereka yang putus asa dan bermaksud mengakhiri kerasnya hidup, membutuhkan kopi varietas ini. Ditambah latte, ditambah krim, ditambah es, belum lagi jika diblend dengan green tea, coklat, mocca, avocado, dan dikemas menarik dalam botol atau kaleng. Siapa sih yang tidak suka dengan jenis kopi ini. Tinggal diserahkan saja pada tulang punggung perusahaan. Marketing. Semakin jeli dan gigihnya para marketing, semakin lakulah produk ini. Kopi Sianida! Dingin Menyegarkan!

Oh ya, para teroris tentunya akan sedikit melirik piranti mematikan ini. Dengan kopi varietas baru ini, orang makin mudah menempuh jalan jihad. Tak perlu susah-susah mengangkut bom dalam tas. Tak perlu susah-susah meracik peledak, merancang skenario penyerangan ke titik-titik keramaian dan jantung kota. Tak perlu pula berlatih bagaimana menggunakan senjata laras pendek dan laras panjang. Tak perlu! Anda cukup berlatih dalam workshop bertajuk basic selling skill. Niscaya, anda sudah jadi teroris handal yang tak perlu capek-capek tertembak peluru petugas karena harus berperang di tempat terbuka. Tembak-tembakan sih oke. Heroik. Keren. Macho. Tapi, kalau kena dor di kepala, ya pastinya nggak lucu. Sekarang, jadi teroris itu kan yang penting bisa menyebar teror. Gampangnya, utamakan anda bisa menjual dengan target 100 botol/kaleng sehari. Niscaya, kopi ini dengan sigap ditenggak mereka yang punya dendam dengan orang, punya kisah buruk cinta segitiga, punya kepribadian ganda, beralih profesi jadi teroris atau paling tidak “punya rencana jahat”. Bayangkan, dalam satu bulan, kalau itu dihitung efektif 20 hari kerja, sudah ada 2.000 orang yang menghadap Yang Maha Kuasa di seantero nusantara. Belum lagi, kalau ketahuan, tinggal meminum satu botol kopi saja sembari ditemani camilan pisang goreng atau ketela goreng. Beres. Yang penting lagi, menghadap dengan badan yang utuh. Tak ada lubang pelor petugas, tak ada tangan atau kaki yang lepas dari persendian. Paling-paling organ dalam yang “karatan”. Setidaknya, kalau ketemu bidadari, tentunya masih bisa PD tanpa ada organ tubuh yang hilang.

Itulah Jessica. Bak konspirator dalam seri Detektif Conan, bak aktor yang ditulis oleh Agatha Christi, mata CCTV bisa lepas menunjukkan bahwa di Kafe Olivier itulah, ia dengan sengaja menuang serbuk sianida atau mungkin sianida cair yang menjadi es, atau apalah itu, hingga kopi berasa “awful” dan berwarna “kunyit” itu ditenggak Mirna. Kalau mata CCTV jelas menunjukkan itu. Jelas. Jessica pun tak bisa berkelit. Atau paling tidak, Jessica pun tak harus road show ke berbagai stasiun TV. Lagi Jessica tak harus diteliti oleh berbagai ahli dan menimbulkan pro kontra. Jelas pelakunya Jessica. Case closed.

Tapi Jessica tidak sebodoh itu. Ia membiarkan mata CCTV menangkap gerak anehnya semata. Mata CCTV membiarkan pemirsa, pembaca, dan para ahli menangkap yang tersirat. Alhasil, berita pembunuhan ini menjadi berita heboh yang mengalahkan beberapa kasus yang tak terselesaikan. Apa kabar Novanto? Apa kabar terorisme? Apa kabar dunia pendidikan kita? Apa kabar dunia bisnis kita? Apa kabar freeport? Apa kabar para pengangguran? Yang tersaji adalah ramainya pemberitaan dan ramai-ramainya hujatan pada tokoh ini, Jessica, konspirator ulung.

Tentu saja, berita ini punya nilai jual tersendiri. Saya percaya minat baca saya pun tergugah dengan hadirnya pemberitaan si nona cantik ini. Rasa ingin tahu bagaimana kelanjutan kisahnya sama seperti rasa ingin tahu saya ketika yang terhormat dan dimuliakan bapak Novanto ketahuan mencatut nama Presiden dan Wakil Presiden. Belum lagi sekarang, ketika diketahui, ternyata pengacara Jessica ternyata juga adalah tersangka. Tersangka membela tersangka. Wah, makin seru ini. Siapa pula yang menyangka, ada rekan kerja yang dengan sengaja memasukkan tinner untuk ditenggak temannya. Jessica yang mulanya hanyalah konspirator, kini jadi inspirator.

Inilah kekuatan media. Media punya kesempatan yang begitu luas untuk memberitakan sisi positif dan negatif. Media punya andil besar membentuk opini publik bahkan ketika itu melawan arus, anti mainstream. Untuk itu, sudah saatnya, media pun bisa menjadi sarana efektif yang membangun dan menjadi ujung tombak pemberitaan yang berimbang. Masih banyak hal yang bisa “laku” sebagai konsumsi teman minum teh di pagi hari. Masih banyak pula, perkara yang dulunya ramai diberitakan, belum selesai dan lepas dari pemberitaan. Semoga kisah saya pagi ini menambah inspirasi yang baik. Jessica, konspirator ulung tapi juga marketing kopi yang handal.

"Huffthhh..."

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun