Ada yang istimewa dari Hari Guru tahun ini. Kami, satu yayasan, diajak untuk menonton film #BudiPekerti, film besutan Wregas Bhanuteja. Raphael Wregas Bhanuteja lengkapnya. Film ini kudengar pertama kali dari Podhub Bung Deddy Corbuzier. Kala itu, Prilly diundang sebagai bintang tamu, mengenakan kaos Andragogy Budi Pekerti. Prilly menjelaskan mengapa mengenakan kaos itu dan proses produksi filmnya. Saya berpikir tidak akan sempat menonton film ini karena seingat saya, film ini diikutsertakan dalam lomba. Kalau tidak salah ingat, film ini ikut dalam Toronto International Film Festival. Tidak di Indonesia tentunya. Silakan tonton dalam tayangan berikut:Â
Sedikit Cerita tentang Filmnya
Latar belakang film ini, kental dengan suasana Yogyakarta waktu pandemi melanda. Budi Pekerti menceritakan tentang seorang guru paruh baya yang terkena perundungan di dunia maya karena perselisihan dengan salah satu pembeli kue Putu legendaris, Putu Mbok Rahayu. Â Video kemarahannya menjadi viral. Â Video tersebut pun mendapat komentar negatif karena sikap Bu Prani dinilai tidak mencerminkan jati diri seorang guru.
Dampak video viral itu berimbas pada keluarga Bu Prani. Segala tindakan dan perlakuan dari masing-masing anggota keluarga pun mulai dinilai dan dicari-cari kesalahannya. Itulah alasannya mengapa menjadi kehidupan Bu Prani dan keluarga tidak tenang karena apapun yang dilakukan mereka nanti akan selalu dipandang salah di mata masyarakat dan publik. Pengaruh negatif yang timbul dari viralnya video tersebut juga membuat bu Prani memutuskan mengundurkan diri dari sekolahnya.Â
Apa yang mengesankan?Â
Di balik rangkaian cerita film ini, ada satu kata yang mengusik saya. Refleksi. Berulang kali, Bu Prani menyampaikan itu. Tambahan pula, dalam potongan video yang diposting pak ST Kartono, Guru Bahasa di Kolese De Britto Yogyakarta, menampilkan sang sutradara yang menjelaskan mengapa kata tersebut berulang kali disampaikan dalam film.Â
Refleksi, secara sederhana, dapat dijelaskan sebagai sebuah kegiatan atau tindakan mengarahkan kembali. Â Akar kata refleksi dalam bahasa Latin (Reflexio, Reflectere, Reflexi, Reflexus)Â ingin menegaskan bahwa tindakan ini pada prinsipnya adalah untuk mengajak kita melihat kembali apa yang kita buat, kita katakan, kita pikirkan, kita rasakan, dan apa saja yang terjadi dalam diri kita. Dari setiap peristiwa hidup yang kita alami, kita diajak untuk menyadari maknanya bagi hidup kita.
Nah, jika ditempatkan dalam konteks film ini, satu hal yang mengesankan saya ada pada judulnya. Dalam bahasa Inggris, kata yang digunakan adalah Andragogy. Kalau mendengar istilah ini, tentu tak asing kata pedagogi dan heutagogi. Untuk saat ini, tidak dibahas keduanya. Tentang andragogy sendiri, sederhananya dapat dipahami sebagai seni pengetahuan untuk membimbing orang dewasa belajar. Dalam andragogy, keterlibatan orang dewasa dalam proses pembelajaran jauh lebih besar, karena sejak awal harus diadakan diagnosis kebutuhan, merumuskan tujuan, dan mengevaluasi hasil belajar serta melaksanakannya secara bersama-sama.Â
Dalam konteks ini, kegiatan refleksi yang dikenalkan sedari dini bertujuan untuk membiasakan anak-anak agar memeroleh pelajaran bermakna dari rangkaian kegiatan pembelajaran yang mereka alami, baik sebagai pribadi maupun secara klasikal. Tak heran, dalam kurikulum merdeka, refleksi pembelajaran pun mendapat tempat tersendiri. Tradisi yang bagi saya pribadi terkesan sangat Ignatian.Â