Kisahku waktu pagi menjelang
Matahari belum lagi menampakkan dirinya, saya bergegas bangun dari tidur, merapikannya, dan segera mengambil handuk. "Pukul 05.00." pikir saya. Sejenak rasa enggan bergelayut manja, tetapi apa mau dikata, niat hati memang untuk bekerja di ibukota. Saya pun segera mandi, bersiap-siap, dan memacu kendaraan saya menuju sekolah.Â
Sejak bulan Maret 2020 lalu, aktivitas saya tak biasa-biasa saja. Mau tak mau, saya harus sigap menyesuaikan diri. Saya berharap, pembelajaran online menjadi kesempatan yang baik untuk memperluas cakrawala pengetahuan saya tentang teknologi, sekaligus juga menghadirkan pembelajaran yang proporsional.Â
Aduh, maaf kalau bahasa saya agak ketinggian. Tapi kisah itu hanya awal cerita. Cerita saya dimulai ketika pagi menjelang.Â
Kisah pertama: Tentang Pembelajaran Jarak Jauh
Ketika diumumkan pertama kali bahwa di Indonesia sudah didapati kasus pertama Covid-19, sejenak saya berhenti mengunyah nasi dan lauk yang  saya santap untuk sarapan. Waktu itu, hari masih pagi. Namun, dari siaran televisi, yang pasti adalah pengumuman kebijakan untuk meliburkan siswa. Tak lama berselang, WhatsApp Group perwalian saya pun ramai dengan diskusi tak berkesudahan. Terus terang, bingung saya menjawab satu per satu. Saya tak akan bercerita panjang tentang diskusi itu, tetapi yang  saya ceritakan adalah yang ada di pikiran saya waktu itu,"Pembelajaran online."Â
Tak lama setelah pengumuman kebijakan itu, saya pun harus mulai belajar mengenal apa itu PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh). Jangan dipikir mudah ya. PJJ membawa perubahan bagi beberapa di antara kami yang tidak akrab dengan teknologi. Saya pun sama. Saya tidak siap. Satu hal yang saya pikirkan adalah bagaimana menghadirkan pembelajaran yang menarik, mengesankan, dan tentu saja lihai menggunakan piranti untuk menyampaikan pesan pada siswa yang saya dampingi. Dan jawabannya jelas, itu tidak mudah.Â
Kisah saya bermula dari sini. Setelah mengikuti beberapa pelatihan media pembelajaran dan teknologi pendidikan, saya mulai mencoba menggunakan beberapa aplikasi kuis dan merekam media pembelajaran secara mandiri. Pagi itu, saya bergegas menuju sekolah. Hari masih pagi, tak banyak pula pengendara yang saya temui di jalan. Sesampainya di sekolah, saya pun bersiap untuk merekam materi pembelajaran. Bagaimana caranyalah, yang penting ada wajah saya di situ, dan power pointnya tampil utuh. Singkat cerita, jadilah video pembelajaran, lengkap dengan kuis untuk evaluasi.Â
"Anak-anak sekalian, setelah menonton video pembelajaran, silakan secara mandiri mengerjakan kuis yang sudah bapak siapkan ya,"saya berpesan pada anak-anak sembari menutup sesi briefing sebelum kegiatan pembelajaran dimulai. Namun, apakah dikerjakan sesuai langkah-langkah yang diberikan? Tentu tidak, yang dikerjakan adalah kebalikannya. Dikerjakan dulu kuisnya, dan sambil lalu menyimak materi pembelajarannya.Â
Mendapat hasil yang tidak memadai, tentu saya berpikir bagaimana caranya agar saya tahu bahwa media yang sudah saya siapkan itu disimak dan dipelajari dengan baik. Minimal, saya tahu anak-anak menonton media tersebut. Mulanya memang media itu saya unggah saja di Google Classroom. Namun, saya yakin penyampaian melalui media tidak dapat diwakilkan dengan penyampaian langsung. Dan, benar saja. Ketika media tersebut saya posting melalui platform YouTube, bisa saya lihat retensi media pembelajaran yang sudah saya buat itu. Kisah ini pun masih berlanjut.Â