[caption caption="ilustrasi guru (sumber gambar: static.republika.co.id"][/caption]Kisah saya hidup dalam dunia pemasaran akhirnya terantuk pada relasi dengan guru-guru di sekolahan. Maklumlah, saya menjalani profesi sebagai pedagang buku dan alat peraga. Yah, saya pikir sangat berdekatanlah dengan dunia pendidikan. Inilah salah satu alasan mengapa saya mau jadi sales. Meski tak jarang mendapat penolakan karena macam-macam kekurangan pada barang yang saya tawarkan, saya pun tak patah aranglah. Pikir saya, pasti dari 10 orang yang saya tawari ada satu yang nyanthol dan mau beli.Â
Itu menurut ilmu pemasaran sih. Praktisnya gitu. Tapi kenyataannya, kadang ya diusir, kadang ya mendapat cibiran. Kalau menurut teori 10:1, kadang harus ngalami pula sabarnya menjalin kembali relasi yang sudah rusak. Maka, teorinya pun berubah jadi 100:1. Belum lagi kalau bicara  tekanan dari kantor, terutama jika target penjualan belum terpenuhi. Bisa stres duna akhirat. Namun ya begitu itu. Namanya juga pekerjaan. Di mana-mana ya pastinya nggak ada yang enak. Yang penting disyukuri. Kuncinya gitu katanya sih. Haha...
Lha karena seringnya berjumpa itulah, saya banyak belajar bagaimana menjadi seorang guru. Ada positif, tetapi tak jarang juga ada yang negatif. Salah satunya adalah pengalaman saya ini.Â
Sebut saja nama guru ini adalah Paijo. Tentu saja ini bukan nama sebenarnya. Beliaunya ini ngajar di SMA untuk mata pelajaran Kewarganegaraan. Jaman saya dulu tentu sebutannya adalah PMP atau di kemudian hari ada sebutan PPKn untuk mata pelajaran yang isinya belajar tentang Republik Indonesia tercinta ini dan tentunya tips menjadi warga negara yang baik.Â
Perjumpaan dengan guru ini tentunya istimewa. Karena orang ini adalah guru senior, tak mudah tentu untuk menawarkan produk buku yang saya punya. Tapi ya karena melihat uletnya saya nawarkan. Berkali-kali ditolak ya masih ngeyel juga. Mungkin begitu pikirnya, saya pun beberapa kali diminta untuk menyiapkan kebutuhan buku yang beliau minta, terutama untuk materi Kewarganegaraan tadi.Â
Suatu kesempatan, setelah Ujian Sekolah, saya bertamu ke rumahnya. Ndilalah karena kebetulan juga bertetanggaan dengan Pak Parto (bukan nama sebenarnya juga tentu), wakil kepala sekolah bidang kurikulum, waktu mau pulang, saya dititipi daftar nilai untuk disampaikan. Sekalian pulang ya mas, begitu pesannya.Â
Lha ndilalah, malam itu juga, kami ketemu lagi untuk giliran ronda malam satu kelompok. Bareng. Tahu kalau sorenya saya yang membawa daftar nilai dan Pak Paijo itu adalah "pelanggan setia" saya, akhirnya Pak Parto pun bercerita.Â
"Lha kae, njenengan pengen ngerti mas? Sing jenengane dadi guru senior ki pasale mung loro. Siji, guru senior ra iso salah. Ke loro, yen salah delengen pasal siji.Â
Ewodene tahun wingi, malah lucu maneh kae. Tekan wektune kon ngumpulke daftar nilai. Yo pas urung ngumpulke. Lha,... ndilalah pas diteliti, siswa sing wis 'mati' yo melu entuk nilai. Kan sing repot sing ngeterke. Mosok kudu neng kuburan?" (kontan... teman-teman di pos ronda pun tertawa ngakak)
Kurang lebih terjemahannya begini. "Lha itu, kamu pengen tahu mas? Yang namanya guru senior itu pasalnya cuma dua. Pertama, guru senior itu ndak bisa salah. Kedua, kalau salah ya lihat lagi pasal satu. Suatu kesempatan, tahun lalu, ada kejadian lucu (soal Pak Paijo). Sampai waktunya mengumpulkan daftar nilai. Pas juga belum mengumpulkan. Lha,... pas diteliti (daftar nilainya), siswa yang meninggal ya ikut dapat nilai. Kan repot yang ngantarkan (nilai itu ke mana). Masak harus ke kuburan?"Â
Tapi itulah pengalaman saya. Saya belajar banyak untuk melihat. Ada kalanya, untuk menjadi guru yang dihormati, sering diartikan menjadi guru yang ditakuti. Kerapkali, perkara disegani oleh murid-murid berarti pula "menjadi momok". Dan guru senior, pastinya punya "nilai plus" ini.Â