Mohon tunggu...
Denis Guritno Sri Sasongko
Denis Guritno Sri Sasongko Mohon Tunggu... Guru - Pendidik dan Pembelajar

Belajar menulis populer di Komunitas Guru Menulis dengan beberapa publikasi. Pada 2020, menyelesaikan Magister Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial di Universitas Indraprasta PGRI.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

[5] Mak, Harus Ngantar Nilai ke Kuburan!

8 April 2016   09:19 Diperbarui: 8 April 2016   12:33 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bicara soal pak Paijo, Pak Parto berkisah bahwa di rumah, sebenarnya beliaunya ini bapak yang baik untuk anak-anaknya, tapi di sekolah, terkenal jadi guru killer, pelit memberi nilai, pelit pujian, sinis, ketus, dan galaknya minta ampun. Sayangnya, karena tak lagi muda, ia tak lagi teliti. 

Belum lagi kalau bicara soal PR atau tugas-tugas terstruktur dan tak struktur, beliaunya ini mungkin sangat-sangat bahagia ketika peserta didik bertekuklutut minta ampun. Tugas dan PR yang berjibun, semuanya memang bikin siswa kewalahan.

Belum lagi tagihan buku. Pak Paijo ini, tega luar biasa. Sebulan kudu lunas, kalau tidak nggak usah masuk kelas kewarganegaraannya. Kan sadis. Dan mungkin juga beliaunya ini bahagia. Tapi ya itu tadi, kasihan dengan siswanya. Bukannya tambah pintar, bisa jadi tambah blank, nggak ngerti apa yang dipelajari. 

Perjumpaan saya dengan pak Paijo memang bisa dibilang relasi bisnis. Tetapi, dari perjumpaan itu, saya banyak belajar. Sisi manusiawi saya kadang ya bicara banyak. Kadang, saya kasihan karena ada kesan memaksa pada anak untuk materi ajar yang diambil dari buku. Ya kalau anaknya mampu, kalau nggak kan ya kasihan juga harus memberi beban yang tak tertanggungkan.

Lha, giliran tagihan buku itu diusahakan oleh orang tua, ternyata gurunya sendiri serampangan dalam memberi nilai. Belum kalau bicara nilai luhur yang diajarkan. Ini soal kewarganegaraan lho. Ada nilai-nilai kodrati dan adikodrati yang diberikan. Ndilalah, contoh hidupnya ya seperti itu. Singkatnya, abai pada soal komunikasi manusiawi yang seharusnya terjalin dengan peserta didik. 

Pengalaman inilah yang membuat saya sadar. Jangan lupa untuk membangun komunikasi yang baik dengan peserta didik. Untuk disegani, bisa jadi salah satunya adalah apa yang sudah saya lakukan, mempersiapkan materi ajar dengan baik, memberi review supaya makin jelaslah pelajaran yang harus diserap, menyampaikan materi dengan berbagai macam cara untuk lepas dari gaya lecturing, dan dengan jujur memberi evaluasi serta menerima evaluasi. Keterbukaan macam ini juga saya usahakan dengan konsisten memulai pelajaran tepat waktu. Harapan saya, biarlah anak-anakku sadar bahwa waktu tak akan pernah lagi terulang. Maka, siapkanlah semuanya dengan baik. 

Purbalingga, 8 April 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun