Ada yang benci dirinya
Ada yang butuh dirinya
Ada yang berlutut mencintanya
Ada pula yang kejam menyiksa dirinya
Kini hidup wanita si kupu-kupu malam
Bekerja bertaruh seluruh jiwa raga
Bibir senyum kata halus merayu memanja
Kepada setiap mereka yang datang
Dosakah yang dia kerjakan
Sucikah mereka yang datang
Kadang dia tersenyum dalam tangis
Kadang dia menangis di dalam senyuman
Oh apa yang terjadi.. terjadilah
Yang dia tahu Tuhan penyayang umatnya
Oh apa yang terjadi.. terjadilah
Yang dia tahu hanyalah menyambung nyawa
Tobat: Mulai dari Diri Sendiri
Minggu prapaskah ke III/C nanti akan diperdengarkan kisah yang diambil dari Luk 13:1-9. Isinya adalah pelajaran yang Yesus tawarkan tentang Pertobatan. Unik tentunya karena yang dikisahkan adalah masyarakat waktu itu yang ingin mengetahui pandangan politik guru kenamaan ini. Dapat dipahami, karena Yesus sendiri berasal Galilea. Jika mengecam pembunuhan para peziarah itu, Yesus akan berhadapan dengan kekuasaan Romawi. Tapi jika membenarkan, ia dituduh tidak membela bangsanya sendiri. Kurang lebih, perkaranya sama dengan ketika orang Yahudi mempertanyakan soal membayar pajak pada Kaisar.
Reaksi Yesus lagi-lagi unik karena Ia seolah menolak gagasan bahwa pengalaman buruk, malapetaka, atau kematian yang tak wajar adalah hukuman akibat dosa atau kesalahan. Ia menegaskan bahwa orang yang tertimpa menara itu tidak lebih berdosa dari orang-orang lain. Dengan kata lain, saran Yesus adalah mulailah memperbaiki diri sendiri dulu dan bertobat. Hal ini menarik tentunya karena rasanya Yesus mengundang dan menggarisbawahi pentingnya tobat. Tobat menjadi langkah baru daripada sekadar menyatakan minat pada desakan dan ajakan untuk bertobat. Dan, Lukas mengajarkan sekali lagi pada saat kisah Injil ini dibacakan hari ini, pertobatan dari dan pertobatan untuk.
Ingat kisah Luk 10:25-37? Di sana, Lukas menceritakan tentang perumpamaan orang Samaria yang baik hati. Apa yang penting di sana sebenarnya adalah soal wilayah geografis dan sentimen sosiologis. Orang Samaria dan orang Galilea sebenarnya tidak disukai oleh orang Yudea, terutama Yerusalem. Galilea di sebelah utara sebenarnya identik dengan wilayah yang subur dan perekonomiannya jauh lebih maju. Belum lagi, danau Galilea sangat berlimpah dengan ikan-ikan yang layak konsumsi. Tak heran, Galilea tumbuh dari segi ekonomi. Pertanian maju. Perdagangan pun tak urung meningkatkan kesejahteraan. Namun, kendati berkembang, Galilea sarat ketimpangan sosial. Di wilayah ini pun jauh lebih sering terjadi pertikaian dan perlawanan terhadap kekuasaan Yunani dan Romawi.
Lain Galilea, lain pula Yerusalem. Daerah ini jauh lebih tenang. Yerusalem identik dengan tempat yang khusus. Pusat peribadatan dan tentunya penuh dengan semarak kekhususan karena nilai religiusnya. Tak heran, orang Yerusalem sering memandang rendah orang Galilea. Simak saja kisah orang Samaria tadi. Silakan lihat sendiri bagaimana sikap terhadap orang naas yang kena begal itu. Belum lagi, ada Natanael dan Nikodemus yang kena semprot di depan kaum Farisi, "Helloh, baca Kitab Suci deh. Mana ada nabi yang datang dari Galilea!” (bdk. Yoh 7:52)
Dari konteks ini, bisa dipahami bahwa kata Yerusalem dapat menjadi sindiran. Meski orang memiliki "previlese religius", tidak berarti mereka adalah orang yang sungguh suci. Lukas menyebut Yerusalem dapat pula sebagai kota yang menolak kehadiran Yesus. Dengan demikian, Lukas memberi persepektif baru bahwa sementara Yerusalem ditampilkan sebagai kota yang tak bersih dari kesalahan, pertobatan dimaknai tidak saja dalam arti menyesali kesalahan ini atau itu, tetapi berusaha menjadi orang-orang yang menerima Yesus. Dan Yerusalem menjadi kota yang penuh kedamaian, bukan kezaliman. Singkatnya, Lukas menggarisbawahi bahwa perlu menjauhi sikap kelekatan pada kekayaan sehingga lupa pada sesama (sikap orang Galilea) dan sikap merasa diri sudah menjadi orang benar, berlaku munafik, bahkan tak menerima Yesus sebagai Mesias (sikap orang Yerusalem). (sumber arti kata Yerusalem: Disini )