[caption caption="Pak Gesang, sebuah lukisan dinding sang maestro kroncong Solo yang menghiasi tembok depan pasar Triwindu Solo. | Foto: wd. asmara"][/caption]Siapa sih yang ndak kenal almarhum maestro keroncong ini? Gesang namanya. Lengkapnya Gesang Martohartono. Ia lahir di Solo, 1 Oktober 1917. Gesang tutup usia di Solo, 20 Mei 2010. Kala itu, usianya 92 tahun. Ia dikenal sebagai maestro keroncong Indonesia. Salah satu karya fenomenalnya adalah "Bengawan Solo". Lagu ini diciptakan pada tahun 1940. Inspirasinya sederhana. Gesang muda sering duduk di tepi sungai Bengawan Solo. Ia kagum pada sungai tersebut. Lalu, terciptalah lagu yang terkenal terutama di Indonesia dan Jepang. Luar biasanya, lagu ini diterjemahkan juga ke dalam 13 bahasa; Inggris, bahasa Rusia, bahasa Tionghoa, dan bahasa Jepang. Tentang Gesang, tentunya sudah banyak diulas. Beberapa biografinya dapat diakses secara online.
Bagi saya, kota solo adalah kota yang akrab, menarik, dan asri. Belum kalau berjumpa dengan masyarakatnya, hangat, ramah, dan guyup. Mungkin itu sebabnya, musik keroncong tumbuh subur di kota ini. Jangan tanya, bagaimana di sini tumbuh subur juga gerakan radikalisme. Saya tidak tahu dan saya pun tidak mau mengulasnya. Yang jelas, di kota inilah, tumbuh subur grup musik keroncong.Â
Regenerasi dan Apresiasi
Sore itu, saya bertemu dengan beberapa musisi senior di desa, tempat asal istri saya. Mereka memang sudah berusia paruh baya. Mungkin keroncong menjadi sarana mereka berkumpul dan menghabiskan waktu bersama. Untuk itulah, ketika saya bergabung, mereka sangat senang karena saya menjadi tempat mereka untuk menceritakan pengalaman masa muda masing-masing. Nasihat dan teknik permainan yang belum pernah saya pelajari juga ditularkan dengan gratis. Guyup, ngemong, dan sangat bersahabat. Itulah kesan saya. Di sinilah saya mulai berkenalan pertama kali dengan kata regenerasi.Â
[caption caption="Gesang -Â bp.blogspot.com"]
Sampai satu kesempatan, saya pun ikut bersama-sama tampil. Tidak terlalu mewah tentu karena hanya tampil di aula desa. Istimewanya adalah ada orang luar negeri yang datang. Setelah selesai, saya pun mencoba berkenalan. Ia adalah turis dari Jerman. Hans namanya. Tentang keroncong, ia sangat senang bisa hadir dan mendengarkan. Menurutnya, lain dari beberapa genre musik yang ia pelajari, keroncong sangat mudah untuk dinikmati. Lagi, saya kembali berkenalan dengan kata apresiasi.Â
Dua bulan berselang, kembali saya menjalani rutinitas. Keroncong tetap menjadi pilihan. Jika masih ingat konsep keroncong yang kami bungkus dalam congkestra: keroncong orkestra, sejenak itu kami tinggalkan. Meski ide dasarnya adalah memeriahkan hari jadi, kendala yang dihadapi justru miskinnya minat dan tidak adanya uluran sponsorship. Jadi selama ini, kalau ada event-event keluar dari komunitas, semua beban menjadi tanggungan yang menaungi kami. Sayang memang.Â
Semula, saat kami diajak keluar dari komunitas dan ikut mengisi acara, kami berpikir bahwa ini adalah kesempatan yang sangat baik untuk mempromosikan genre musik ini. Bukan itu saja, kami berpikir ini pun menjadi momen yang luar biasa karena kami dapat berkenalan dengan beragam orang dari berbagai kalangan. Jangankan untuk mencari sponsorship, saya rasa untuk dekat dan menyapa penggemar muda tidaklah sesulit yang kami pikirkan. Lagi-lagi sayang, karena perkenalan saya dengan kata regenerasi dan apresiasi itu harus terkubur dalam-dalam.Â
Dengan kata regenerasi, yang saya hadapi justru minimnya kemasan kegiatan yang mengundang minat anak-anak muda. Ketika ada event yang cukup penting saja, justru kami harus berhadapan dengan instansi yang mengaku-aku bahwa kami adalah hasil didikan mereka. Padahal, selama latihan, batang hidungnya pun tak kelihatan. Wajarlah kalau setiap kali ulang tahun memeriahkan hari jadi yang empunya rumah, regenerasi selalu menjadi keprihatinan. Bukan kebanggaan. Apa yang mau dibanggakan karena kalau berkembang justru dengan tidak sengaja, semangat itu dilumpuhkan. Salah satu contoh yang saya alami adalah soal bowing pada biola.Â
Waktu itu, kami diminta untuk tampil di RRI dengan musisi-musisi senior di kota, tempat saya tinggal sekarang. Kami diberi teks dan di dalam teks itu sudah ada ketentuan gesekannya memang. Namun, entah karena mengerti atau tidak, justru pada ketukan berat, gesekan biolanya naik. Padahal, untuk ketukan yang berat dan ada penekanan, biasanya gesekan biola selalu turun. Nah, lagi karena beberapa teman dan anak didik saya baru, termasuk saya, dalam musik keroncong, pedoman kami tentunya apa yang sudah kami pelajari di kelas kursus.
Meski itu tak menjamin bowingnya rapi, tetapi kami rasa untuk berani tampil dan menghasilkan suara yang indah saja, kami pikir itu cukup. Nah, jadilah waktu itu kami dicibir bahwa bowingnya harus sama dan serempak, tidak boleh beda. Sampai di sini karena kami masih baru bisa kami terima. Tetapi lucunya lagi, pada saat tampil pun yang mengkritik kami ini main pada oktaf yang lebih tinggi dan fals. Memang sih, tidak ada ketentuan main pada oktaf mana karena yang dimainkan adalah notasi angka. Bagi kami, kritik boleh asal membangun. Bukan untuk menjelekkan. Singkat saja komentar kami. Gajah diblangkoni. Iso kotbah ra iso nglakoni. Dan kami tetap berlatih.Â