Mohon tunggu...
Denis Guritno Sri Sasongko
Denis Guritno Sri Sasongko Mohon Tunggu... Guru - Pendidik dan Pembelajar

Belajar menulis populer di Komunitas Guru Menulis dengan beberapa publikasi. Pada 2020, menyelesaikan Magister Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial di Universitas Indraprasta PGRI.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Keroncong: Mahalnya jadi Musisi dan Perkara Apresiasi (3)

13 Februari 2016   11:09 Diperbarui: 13 Februari 2016   11:18 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Latihan Keroncong (dok pribadi)"]“PING…!!!” “Pesan BBM...” pikirku
Saya baca pesan broadcast dari seorang rekan guru musik. Bunyinya demikian, “Bila anda melihat seorang seniman grafis di meja mereka atau seorang musisi bermain, MEREKA BEKERJA! Banyak orang berpikir, para seniman ini bermain, bukan bekerja.” Dan, kisah saya ini kurang lebih membawa pesan yang sama.

Selain menjadi guru, saya diberi kesempatan menjadi violinis dalam komunitas keroncong di kota, tempat tinggal saya. Anak didik saya pun saya beri kesempatan yang sama untuk belajar musik keroncong, entah sebagai penyanyi ataupun sebagai violinis. Saya berpikir, belajar dan mencintai musik keroncong memiliki satu roh yang sama untuk tetap terus mengembangkan diri setelah menguasai metode-metode klasik dalam sesi masterclass di kelas biola.

Sebulan berselang, komunitas kami diundang untuk tampil di RRI Purwokerto. Kami pun disambut dengan baik oleh para musisi senior yang ikut hadir. Bagi mereka, jarang anak-anak muda yang rela meluangkan waktu untuk belajar keroncong. Apresiasi mereka pun berlanjut. Seminggu setelah tampil, kami dikabari untuk segera menyiapkan diri mengikuti lomba keroncong tingkat provinsi di Cilacap, Jawa Tengah. Dan, ketika tiba waktunya, kami pulang dengan membawa piala juara harapan 3 penampil terbaik.

Tak puas dengan prestasi ini, kami pun berkomitmen untuk tetap meluangkan waktu membuat aransemen dan berlatih. Kami berpikir, musik keroncong harus terus dibaca kembali, diinterpretasi ulang, dan disajikan sesuai masanya. Kami berharap tentunya, jerih lelah kami mengeksplorasi kekayaan musik keroncong dapat mendorong para pendengar untuk mengapresiasi musik keroncong dengan pantas. Paling tidak, pendengar bisa berpendapat bahwa musik keroncong cukup mudah untuk didengarkan dan disukai nantinya.

Satu bulan sesudahnya, kami diberi kesempatan kembali untuk tampil berurutan di RRI Purwokerto, TVRI Jawa Tengah yang disiarkan live dalam tajuk “Kromatis” Keroncong Romantis, dan Parade Budaya memeriahkan Ulang Tahun Kabupaten, tempat kami tinggal. Sayangnya, dari pengalaman terakhir ini, saya bertemu dengan pihak dari instansi yang mendaku memiliki otoritas pengembangan budaya yang ikut hadir dan diwawancarai secara live. Meski beliau berbicara tentang pendampingan musisi keroncong, baik dorongan moral dan material, kami tidak pernah sama sekali bertemu muka sebelumnya selama latihan berlangsung. Bahkan ketika kami pulang, kami tidak mendapat apresiasi yang pantas seperti yang beliau ungkapkan dalam wawancara. Kekecewaan kami lebih-lebih karena justru instansinya yang mendapat pengakuan dan nama baik atas usahanya dalam mendampingi para musisi seperti kami ini. Sementara kami, yang sudah bersusahpayah membuat aransemen, melatih cengkok keroncong, dan berlatih, hanya pulang dengan nasi kotak.

Tak lama berselang, saya pun dihubungi kembali untuk mempersiapkan teman-teman komunitas dengan satu konsep baru yang belum pernah dibuat, CONGKESTRA: Keroncong Orkestra. Tentu saja hal ini menjadi kesempatan yang baik. Saya pun mengungkapkan keresahan teman-teman komunitas akan minimnya apresiasi. “Begini pak, bapak meminta sajian musik yang spesial, saya berpikir bapak pastinya siap juga untuk memberi apresiasi dan ‘harga’ yang pantas bagi jerih lelah anak didik saya dan teman-teman komunitas. Pendapat saya, kita setuju tentunya kalau menjadi musisi itu mahal. Mahal kursus dan sekolahnya, mahal beli alat musiknya, dan mahal pula mengumpulkan teman-teman komunitas untuk berlatih bersama.” Semoga pengalaman minimnya apresiasi ini tidak terulang bagi musisi-musisi yang lahir nantinya dari tangan dingin para pendidik.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun