Dalam proses pembangunan, keterlibatan masyarakat untuk memiliki peran serta andil dalam pembangunan sangat diperlukan. Pembangunan dalam berbagai macam bidang tentu perlu keterlibatan dari seluruh masyarakat yang tentunya harus saling mengisi dan melengkapi. Saat ini pembedaan antar kaum laki-laki dengan kaum wanita bahkan sudah semakin tak terlihat, apalagi setelah adanya isu kesetaraan gender. Memang pada hakikatnya manusia itu diciiptakan sama, namun dalam pembagian kerja untuk pelaksaan program pembangunan apakah diperlukan adanya perilaku yang berbeda antar laki-laki dibanding dengan perempuan? Atau bisa juga tetap saling melengkapi tanpa adanya distorsi penitikberatan ke salah satu gender?
Di jaman dahulu wanita memiliki peran yang tak kalah pentingnya dibandingkan laki-laki, terlebih saat masa kolonial belanda. Wanita memang tidak ikut berperang melawan para tentara dari koloni, namun mereka memiliki andil yang cukup besar dibalik semua itu. Peran wanita memang tidak identik dengan hal-hal kasar yang butuh pengorbanan fisik yang besar, tapi keahlian dalam menenun, memasak, membantu menyiapkan peralatan perang juga tidak bisa dainggap remeh. Tetapi jika dilihat lebih dalam, maka akan terlihat jelas akan peran sesungguhnya laki-laki bekerja untuk hal yang berat, dan wanita bekerja pada bidang yang lebih ringan. Kenyataan ini juga tidak bisa dipungkiri, karena dalam prosesnya selama bertahun-tahun wanita memang menjadi subjek yang hanya diberikan peran pada sektor dibawah kaum laki-laki. Sampai era modern sekarang ini, wanita masih dicap sebagai subjek nomor dua, atau sering di nomor duakan. Hal ini tentu mepengaruhi kondisi psikis para kaum wanita yang akhirnya menyuarakan isu tentang kesetaraan gender yang menginginkan wanita dianggap setara dengan kaum laki-laki.
Memang pada dasarnya laki-laki adalah tumpuhan dan pelindung bagi wanita, atas dasar itulah laki-laki menjadi memiliki peran dan posisi lebih tinggi dibanding dengan wanita. Terkadang, wanita dicap sebagai subjek yang lemah, tidak berdaya, manja, kurang survive dsb, namun dibalik itu wanita memiliki potensi yang sama dengan sang adam. Pandangan-pandangan negatif yang selalu melekat pada wanitaitulah yang menyebabkan wanita kurang memiliki daya saing yang cukup sepadan dibandingkan laki-laki yang dianggap lebih bertenaga. Stigma wanita lemah adalah penilaian yang terkadang hanya menunjuk pada kriteria tertentu saja, akan tetapi sebenarnya kekuatan antara laki-laki itu bisa saja hampir sama. Apalagi wanita yang kemudian diberikan peran ataupun posisi untuk menggantikan pekerjaan laki-laki, tentunya memiliki cara dan hasil yang berbeda dalam mengolahnya. Menurut Kantor Menteri Negara Peranan Wanita (1998), Kemitrasejajaran yang harmonis antara pria dengan wanita adalah suatu kondisi hubungan kedudukan dan peranan yang dinamis antara pria dengan wanita. Pria dan wanita mempunyai persamaan kedudukan, hak, kewajiban dan kesempatan, baik dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara maupun dalam kegiatan pembangunan di segala bidang.
Pembangunan yang ada saat ini mulai dikenal tipe people centered development yang mengacu pada manusia sebagai subjek pembangunan dan dimensi ini lebih efektif jika dibandingkan dengan hanya melatih atau menciptakan manusia profensional sebagai instrumen pembangunan. Pembangunan dalam hal ini adalah membangun daerah perdesaan yang selama ini dikenal sebagai daerah yang memiliki gambaran sebagai kawasan yang masih miskin, jauh dari kata modern kota besar, masyarakat yang produktifitasnya rendah, sistem sosial budaya dan kearifan lokalnya masih kental terasa perlu dibangun dengan suatu pembangunan berbasis pada pemberdayaan masyarakat lokal untuk menciptakan masyarakat madani tapi juga adanya keterlibatan kaum wanita sebagai subjek pembangunan. Saat ini wanita dikenal sebagai penjaga rumah tangga dan pekerja kelas dua. Dalam peranan di kehidupan sehari-hari wanita memang belum bisa menggantikan pekerjaan laki-laki secara sepenuhnya, dan ini berakibat pada diskriminatif pada bias gender. Seringkali wanita hanya dipekerjakan sebagai ibu rumah tangga yang biasanya hanya mencuci, memasak, menjaga rumah dan anak yang pekerjaan tersebut tidak diberi upah. Ketimpangan hal semacam itu membuat wanita seolah-olah tidak diperhitungkan dalam proses pembangunan dan mengakibatkan kemiskinan.
Pembangunan perdesaan dalam konteks pemberdayaan masyarakat untuk membangun kemandirian dan kesejahteraan masyarakat perlu dilakukan agar terbentuk dan terciptanya masyarakat yang madani. Pada prosesnya harus menitikberatkan pada keikutsertaan dan keterlibatan seluruh elemen masyarakat yang berda di desa sebagai fakor penggerak. Kunci pelaksanaan pembangunan agar dapat berjalan dengan optimal adalah dengan memanfaatkan seluruh sumber daya lokal yang ada di desa, sumber daya manusia juga harus termanfaatkan dengan baik, dengan tidak memandang bias gender sebagai pemisah antara kaum laki-laki dengan kaum perempuan.
Unsur pemberdayaan sesungguhnya harus memberi celah pada kaum wanita untuk tetap bisa berkarya dan berkreatifitas. Kaum wanita sekarang sudah tidak bisa dipandang seperti wanita pada jaman dahulu karena pada perkembangannya, ternyata wanita juga bisa memberikan sumbangsih berupa ide, tenaga, dan waktu dalam menciptakan suatu inovasi yang dapat diterapkan di desa untuk pembangunan desa. Kita bisa melihat di kota-kota besar, begitu diberdayakannya wanita dalam bidang industri maupun perkantoran yang mereka merupakan wanita pekerja yang produktif. Hal seperti itulah yang sebenarnya membuktikan bahwa saat ini wanita sudah tidak bisa lagi dipandang sebagai kaum yang terpinggirkan. Untuk menciptakan kolaborasi maksimal dalam membangun desa yang lebih baik, maka kolaborasi antara berbagai elemen harus bisa diajak demi menyatukan satu visi dan misi tanpa mendikotomikan gender sebagai bias jurang yang memisahkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H