Mohon tunggu...
Denisa Amelia Kawuryan
Denisa Amelia Kawuryan Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pursuing Master in Sustainable Development at University of Sussex

With several years of experience in NGO, volunteer-based organization and critical thinking competition, Denisa is keen to empower and support the development process toward a more just world

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Orang Muda dan Pemilu Legislatif

29 Agustus 2022   13:10 Diperbarui: 29 Agustus 2022   13:13 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Beberapa bulan yang lalu, saya dan 3 teman lainnya dijamu oleh mantan Duta Besar Republik Indonesia. Dalam percakapan hangat yang berlangsung kurang lebih 3 jam tersebut, saya selalu terngiang-ngiang dengan pertanyaan beliau mengenai bagaimana pengalaman saya terhadap pemilu legislatif tahun 2019 baik untuk tingkat nasional maupun daerah meliputi pemilihan anggota DPR, DPRD tingkat 1, DPRD tingkat 2 dan DPD?

Jujur dan mungkin miris, saya dan tiga teman saya tidak terlalu mengingat bagaimana pengalaman kami dalam pemilu legislatif. Mayoritas ingatan saya mengenai pemilu eksekutif dan berbagai diskusi atau isu yang menyertainya. 

Beliau saat itu tidak menyangka, bagaimana bisa kami yang berasal dari kalangan berpendidikan, lulus S1 Hubungan Internasional tidak mengikuti politik nasional khususnya pemilihan perwakilan rakyat?

Sejak saat itu, pertanyaan mengenai pemilihan legislatif selalu mengganggu pikiran saya. Sebagai negara demokrasi dimana rakyat adalah pemegang kedaulatan atau kekuasaan tertinggi, maka penting bagi rakyat untuk berpartisipasi dan mengikuti proses politik.   

Apabila hanya saya yang tidak mengikuti isu legislatif mungkin keadaan tidak akan banyak berubah. Namun, apabila ternyata mayoritas masyarakat khususnya orang muda tidak mengikuti dan mengawal representatifnya, maka tikus-tikus yang memakan uang rakyat serta orang yang tidak memiliki kompetensi dengan mudah bergerilya. 

Lebih parah, perwakilan yang benar-benar ingin memperjuangkan hak rakyat tidak pernah mendapatkan tempat karena tidak diapresiasi, tidak dipilih bahkan dikriminalisasi, baik oleh lawan atau rakyatnya sendiri.  

Di satu sisi, selama beberapa tahun menggeluti kegiatan advokasi yang berhubungan dengan politik, sebagai orang awam saya menjadi risau. Karena tidak cukup mengetahui, orang muda perlu kritis terhadap informasi yang diterima. 

Setidaknya perlu ada informasi-informasi atau bekal yang cukup diketahui bagi pemilih untuk akhirnya mereka dengan sadar menggunakan hak politiknya. 

Sering kali saya tertipu dengan menganggap calon ini "baik" ternyata ia memiliki keterkaitan dengan "orang x", "orang z" yang ternyata memiliki track record kurang baik atau bahkan penjahat lingkungan, koruptor, dan lain-lain.

Hal ini menjadi penting karena Indonesia akan menyambut pemilu serentak pada tahun 2024. Sudah banyak para calon dewan yang terhormat berlomba menarik hati rakyat, yang harapannya benar-benar tulus, bukan sebaliknya ingin merampok kekayaan rakyat yang sudah sangat terbatas.

Berupaya untuk mendorong demokrasi yang lebih baik dan substantif di Indonesia, tanpa mendiskreditkan pemilu eksekutif, saya mencoba mengelaborasi mengapa orang muda perlu meningkatkan perhatian terhadap pemilu legislatif di Indonesia?

Pertama, DPR adalah wakil rakyat. Dalam negara demokrasi khususnya Indonesia yang menerapkan demokrasi perwakilan, lembaga representatif menjadi kunci untuk memperjuangkan hak rakyat.  

Lembaga legislatif adalah lembaga pemerintah yang mempunyai fungsi umum dalam membuat perundang-undangan (legislasi), pengawasan dan penganggaran. 

Adapun di Indonesia, lembaga legislatif adalah DPD (Dewan Perwakilan Daerah), DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), dan MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat). Namun pertanyaannya, apakah lembaga legislatif Indonesia telah melakukan fungsi-fungsi tersebut dengan baik?

Berbagai penelitian menunjukkan lembaga legislatif secara konsisten mendapatkan nilai bontot untuk kepercayaan publik. Survei Center Strategic and International Studies (CSIS) menyampaikan bahwa kepercayaan publik terhadap DPR paling rendah hanya 53 persen pada tahun 2015 (Mahkamah Konstitusi, 2015). 

Pada tahun 2016, indikator Politik Indonesia juga mengatakan  Dewan Perwakilan Rakyat dan partai politik adalah institusi politik yang paling tidak dipercaya. DPR mendapatkan 53 persen kepercayaan publik, sedangkan partai politik hanya 46 persen (Kurniawati, 2016). 

Bahkan Parpol dan DPR tidak pernah naik kelas tingkat kepercayaannya sejak 2002. Hampir 20 tahun berjalan, survei LSI tahun 2022 kembali menempatkan partai politik (parpol) dan DPR sebagai lembaga yang paling tidak dipercaya oleh publik. Hanya 51 persen responden yang percaya dengan partai politik, sedangkan DPR hanya 56 persen (Paat, 2022).

Tidak cukup mengenai kepercayaan publik,  sebagian besar masyarakat menempatkan DPR di peringkat pertama lembaga negara yang dianggap korup, diikuti birokrasi pemerintah, dan DPRD (Anugerah, 2017).

Selama pandemi COVID-19 tahun 2020, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) bahkan terpilih sebagai lembaga yang paling tidak dipercaya masyarakat (41 persen) dalam segi pengawasan bantuan sosial terkait penanganan Covid-19 (Pradewo, 2020). 

Fakta mengenai performa diatas menunjukkan lembaga legislatif belum mampu berbenah untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat selama lebih dari dua dekade.

Kedua, prinsip check and balances mengharuskan kualitas lembaga legislatif yang terpilih perlu setara atau lebih baik dari lembaga eksekutif dan yudikatif. 

Prinsip checks and balances merupakan prinsip ketatanegaraan yang menghendaki agar kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif sama-sama sederajat dan saling mengontrol satu sama lain. 

Prinsip ini dinyatakan secara tegas oleh MPR sebagai salah satu tujuan perubahan UUD 1945, yaitu menyempurnakan aturan dasar penyelenggaraan negara secara demokratis dan modern, melalui pembagian kekuasaan, sistem saling mengawasi dan saling mengimbangi yang lebih ketat dan transparan (Zoelva, 2011).

Prinsip check and balances dan keterkaitannya dengan pemilu legislatif merupakan salah satu argumentasi kuat Bapak Duta Besar yang saya aminkan. Bagaimana lembaga eksekutif dan yudikatif bisa bekerja dengan baik, apabila lembaga legislatifnya tidak perform? Begitupun sebaliknya. 

Sayangnya, porsi perhatian yang diberikan publik untuk pemilihan lembaga legislatif tidak seintens pemilihan presiden. Padahal keduanya memiliki peran yang sama-sama penting. 

Masih banyak yang tidak mengenal orang yang duduk mewakilinya baik di daerah maupun pusat. Jangankan mengetahui apa yang diperjuangkan, nama mereka saja mungkin masih banyak yang belum mengetahui.

Berdasarkan hasil survei Charta Politika tahun 2019, saat di Tempat Pemungutan Suara (TPS), publik akan memilih kertas suara yang dicoblos untuk pilpres sebesar 75,4%. Sementara kertas suara untuk DPRD kabupaten/kota 8,1%, DPRD provinsi 1,1%, DPR RI 1,4%, dan DPD 2,2% (Prakoso, 2019).

Berdasarkan jurnal "Persepsi Pemilih Milenial Dalam Pemilu Serentak 2019 di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta" oleh Pahlevi, Khalyubi dan Khatami (2019), Pemilih Milenial mengatakan mengalami kendala kebingungan dalam menentukan pilihannya di Tempat Pemungutan Suara (TPS) akibat banyaknya kandidat calon yang merupakan efek dari pemilu serentak 5 surat suara sekaligus. Bahkan generasi Milenial mengakui menemukan praktek politik uang dan menganggap politik uang sebagai hal yang biasa.

Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini,  menilai gegap gempita pemilu serentak hanya bertumpu pada Pilpres. 

Sementara Pileg lebih menonjolkan identitas kepartaian di masyarakat. Jangankan mengetahui profil kandidat wakil rakyat, masih banyak warga tidak mengetahui masuk dalam daerah pemilihan (dapil) berapa. 

Kondisi ini memicu berbagai macam jenis pelanggaran pemilu mulai dari politik uang, kampanye di luar jadwal, dan lain-lain (Faqir, 2018). Hal ini mengakibatkan seringkali orang-orang yang tidak berkompeten masuk dalam jajaran lembaga legislatif, sehingga mereka tidak mampu mengawasi dan membuat Undang Undang yang berpihak pada rakyat.

Yang ketiga, jumlah orang muda sedang berlimpah. Berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2020 oleh Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penduduk Indonesia didominasi oleh usia muda. 

Jumlah generasi Z mencapai 75,49 juta jiwa (27,94 persen dari total seluruh populasi penduduk di Indonesia).  Sementara itu, jumlah penduduk paling dominan kedua berasal dari generasi milenial sebanyak 69,38 juta jiwa penduduk (25,87 persen).

Di satu sisi, berdasarkan hasil survei KedaiKOPI, mayoritas atau 77,4% anak muda di Indonesia tertarik dengan isu lingkungan hidup. Bahkan 81,1% responden juga beranggapan masalah perubahan iklim dalam kondisi darurat (Dihni, 2021). 

Untuk itu apabila orang muda mampu memilih secara sadar dan terinformasi, bukan tidak mungkin, jajaran orang di lembaga legislatif akan lebih baik, berkualitas bahkan mampu mendorong isu pembangunan berkelanjutan. 

Apalagi jika orang muda menyebarkan informasi ini kepada orang tua, teman, publik bahkan kelompok rentan secara luas, maka generasi melek politik akan mampu membawa transformasi pembangunan Indonesia yang lebih jujur, merata dan berkualitas.

Mengingat pentingnya perubahan cara pandang khususnya orang muda terhadap pemilu legislatif, harapannya artikel ini dapat menjadi pengingat bahwa keterlibatan masyarakat penting dalam kualitas demokrasi Indonesia. 

Menjelang pemilu 2024, harapannya KPU dan Bawaslu meningkatkan kualitas pendidikan politik secara luas termasuk orang muda. Di satu sisi, orang muda perlu lebih kritis dan menjadi suara perubahan agar tidak hanya sekedar memilih, namun memilih dengan pengetahuan.

Dengan ini, semoga lembaga legislatif dapat meningkatkan kualitas kerjanya, lebih transparan, lebih mendengar suara masyarakat dan khususnya hadir membantu dan meningkatkan kualitas masyarakat Indonesia sesuai dengan fungsi-fungsi DPR yang sesungguhnya.

Referensi 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun