Mohon tunggu...
Money

Tahun Politik sebagai Harapan Awal Tahun Perubahan Demokrasi dan Intelektual

4 Februari 2018   23:17 Diperbarui: 4 Februari 2018   23:36 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika kita berbicara politik, maka kita tidak bisa lepas dari yang namanya suatu birokrasi. Baik dari jabatan yang paling rendah hingga jabatan yang tertinggi sekalipun rentan adanya suatu permasalahan yang berhubungan dengan politik, karena pada dasarnya politik sendiri sudah menjadi suatu adat yang tidak bisa dipisahkan dari negeri ini. Seperti halnya duri dalam daging yang sudah menyatu dalam kehidupan, itulah politik. Suatu hal yang menyakitkan bila dirasa namun tetap tak bisa terpisahkan dan dipisahkan.

Menurut pemberitaan salah satu surat kabar tiga bulan terakhir tahun 2017 kemarin, mereka menyebutkan bahwa tahun ini adalah tahun politik yang menggencarkan panggung politik tanah air, disini disebutkan bahwa perlu adanya antisipasi mengenai pilkada serantak yang akan diselenggarakan 27 juni 2018 akan datang, tidak hanya berbagai media masa yang ikut menyuarakan mengenai berita ini, pemimpin tertinggi negara Indonesia (Jokowi) juga tak henti-hentinya menyebutkan tahun politik.

Berbagai parpol sibuk mempersiapkan trik dan cara untuk menduduki kursi jabatan pilkada nanti.  Namun, di tengah perbincangan ini satu pertanyaan mencuat ke permukaan dari masyarakat yang telah hafal dengan janji manis para politis, akankah tahun ini menjadi awal perbaikan pada demokrasi? Atau malah menjadi awal penindasan masyarakat akibat korban dari perebutan kekuasaan dari berbagai kubu politik? Entahlah, kita hanya perlu menunggu waktu.

Dengan adanya pertanyaan tersebut mengundang perbincangan hangat di tengah warga kampus yang bergelar sebagai suatu kaum muda penggerak roda perubahan atau agen of change. Gelar ini disandangkan kepada mereka karena mereka adalah penerus bangsa yang menjadi tumpuan suatu negara, segala aspek negara yang tidak sesuai bisa diubah, hingga melengserkan seorang pemimpin negara pun tidak sulit bagi golongan mahasiswa. Tak heran apabila ada yang merasa terancam dengan adanya mahasiswa sehingga terjadi tragedi trisakti 12 Mei 1998 karena keberanian seorang mahasiswa.  

Mahasiswa tidak hanya kaum pemberontak. Namun dari sana juga muncul bibit cendekiawan dengan torehan pena nya atas segala kebengisan demokrasi negara yang terkadang tak bisa teraspirasikan kepada para pejabat atas. Mereka hanya bisa memulai dari dirinya sendiri dan golongan sekitar ketika ingin melakukan suatu perubahan. Disimpan, ditahan, dan diaspirasikan dalam karya tulisan dengan harapan bisa dikenang dan suatu saat bisa terbaca oleh pemimpin yang tengah berkuasa.

Hal ini bisa dikatakan sebagai tantangan tersendiri bagi kaum intelektual, di tengah persiapan menjelang pesta demokrasi 2018 yang akan datang, berbagai kabar simpang siur mengenai parpol satu dengan parpol lainnya terpublikasikan di segala media masa dengan tujuan saling menjatuhkan satu sama lain, inilah tugas kita sebagai kaum intelektual yang seharusnya tak lantas percaya dengan pemberitaan seperti itu, perlu adanya selektifitas dalam pemilahan berbagai kabar berita.

Ini penting, karena tanpa sadar otak masyarakat akan menangkap pemberitaan ini dan  menjadi salah satu dasar pengetahuan untuk menentukan pilihan, padahal nasib bangsa ini  tergantung dari suara rakyat, sehingga betapa bodohnya kita yang mengaku sebagai kaum intelektual masih saja termakan oleh berita hoax yang tujuannya hanya ingin menjatuhkan lawannya dengan cara yang licik, sehingga kita tidak tahu mana parpol yang bisa membuat suatu perubahan atau parpol yang malah membobrokkan demokrasi di negara ini.

Disamping itu, tantangan yang lain adalah money politik, karena tak bisa dipungkiri bahwa uang adalah salah satu aspek dalam menjalankan kehidupan, terlebih lagi bagi masyarakat miskin, segla sesuatu bisa ditutup dan ditambal dengan uang, rakyat awam hanya menengadah dan menerima uang dari berbagai parpol tanpa tahu akibatnya ke depan bagi negeri ini, hingga mereka tidak tahu harus memilih yang mana ketika pilkada dilaksanakan, dan akhirnya hanya bermodal "bismillah" mereka menjatuhkan pilihan.

Apa yang bisa kita lakukan kini? Menyebarkan gelora semangat menyuarakn hati nurani ataukah mengorbankan kedaulatan negara sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun