Mungkin Anda sudah pernah membaca tulisan “Dilarang Memberi Uang kepada Pengemis” di tempat umum. Peraturan itu terasa aneh bagi sebagian orang. Tetapi peraturan itu pada sebagian wilayah sudah menjadi peraturan resmi yang ditetapkan bersama antara pemerintah daerah dan DPRD. Di dalam peraturan juga disebutkan adanya ancaman hukumannya jika melanggar.
Lalu bagaimana dengan BLT yang dijanjikan pemerintah akan dibagikan kepada orang miskin? Apakah ada persamaan dan perbedaannya antara BLT orang miskin dan pemberian untuk pengemis? Mari kita melihat masalah ini dari niat si pemberi, pelaksanaan pemberian, akibat dari pemberian dan peraturanya.
1)Niat pemberian.
Umumnya orang memiliki empati terhadap orang lain. Akan timbul perasaan kasihan melihat penderitaan orang lain. Begitulah yang terjadi jika kita berhadapan dengan orang dengan penampilan yang kotor, penuh luka, baju compang camping. Kita akan memberikan orang tersebut sekedar uang karena kita merasa bahwa kondisi kita lebih baik dengan mereka. Ini juga didorong oleh semua agama, bahwa bersedekah kepada orang miskin akan memberikan pahala untuk bekal ke sorga.
Begitu juga dengan Bantuan Langsung Tunai atau BLT. Pemberi adalah pemerintah dan penerimanya adalah orang yang hidup di bawah garis kemiskinan. Niat pemerintah adalah membantu orang miskin agar hidupnya tidak terlalu menderita ketika berhadapan dengan kenaikan BBM dan listrik yang ditetapkan oleh pemerintah dan kenaikan harga lainnya sebagai dampak lanjutan.
Dasar niat pemberian uang kepada pengemis atau BLT kepada orang miskin adalah bagus. Tetapi mungkin saja ada niat lainnya atau sampingan seperti memberi uang kepada pengemis akan dilihat orang lain sebagai orang yang baik. Begitu juga pemerintah bisa saja juga memiliki niat lain agar menang dalam Pemilu. Baiklah kita berpikir positif saja bahwa niat lainnya itu hanya dampak sampingan dan betul-betul tidak diniatkan.
2)Pelaksanaan Pemberian
Pemberian uang pada pengemis umumnya dilakukan di tempat yang ramai. Tempat yang ramai memberikan kemungkinan untuk mendapatkan uang sedekah lebih banyak. Dan pengemis langsung berhubungan dengan si pemberi yang tidak mereka kenal. Karena tidak saling mengenal ini, ada kemungkinan uang yang diberikan kepada pengemis tidak mengenai sasaran. Bahkan kenyataanya banyak dari pengemis tersebut ternyata orang yang mampu secara fisik dan rohani tetapi melakukan kegiatan mengemis sebagi pekerjaan normal untuk mencari nafkah. Bisa juga hasil uang mengemis tidak dibelikan makanan atau sandang tetapi kebutuhan lain yang tidak mendasar.
Pada BLT, pemberian dilakukan secara terorganisir. Pembuat kebijakan tidak mengenal siapa yang diberi tetapi hanya memberikan kriteria siapa yang patut menerima. Yang berhubungan langsung adalah kaki tangan pemerintah ditingkat paling bawah yang diharapkan mengenal siapa yang menerima. Meskipun begitu kesalahan dalam proses penyaluran BLT dilaporkan media tetap terjadi. Ada sebagian penyaluran BLT tidak sampai pada orang miskin dan sebaliknya yang tidak patut menerima ternyata malah menerima. Perlu dicatat juga bahwa masyarakat yang merasakan dampak lumayan dari kenaikan BBM banyak yang diluar kriteria pemerintah, karena memang kenaikan harga BBM berlaku umum bukan hanya masyarakat paling miskin saja.
3)Akibat Pemberian
Mudahnya pengemis mendapatkan uang dengan jalan menadahkan tangan membuat jumlah orang yang menjadi pengemis malah meningkat. Sudah banyak ditulis di media bahwa pada saat tertentu, warga suatu kampung dapat berubah menjadi pengemis rame-rame dan berangkat bersama ke kota besar untuk mendapatkan uang. Uang mudah dari mengemis telah membuat orang menjadi malas dan menganggap kegiatan mengemis dapat menjadi pekerjaannya.
Akibat lain dari pemberian kepada pengemis adalah kemacetan di jalan (macet menyebabkan pemborosan waktu dan BBM), pemandangan yang buruk, dan kriminalitas yang meningkat.
Pada BLT, akibat yang hampir sama dapat terjadi. Orang menjadi terlena atau malas untuk mencari solusi untuk masalah ekonomi rumah tangganya yang diakibatkan naiknya harga-harga. Orang yang menerima BLT akan berharap menerima lagi bulan berikutnya. Seterusnya hingga pada saat dihentikan, orang miskin penerima BLT akan kaget menghadapi pemasukan rumah tangganya yg berkurang. Ibarat obat pereda rasa nyeri, rasa nyeri akan muncul kembali setelah efek dari obat itu hilang. BLT bukan obat penyembuh, BLT hanya menunda kemiskinan yang lebih parah karena kenaikan harga BBM. Para penerima BLT akan mengharapkan BLT akan terus ada.
Akibat lanjutannya dengan tidak adanya BLT sementara harga-harga sudah naik, maka akan banyak orang mencari jalan pintas, mulai dari berhutang, mengemis, hingga melakukan pencurian dan sebagainya.
4)Peraturan
Untuk pemberian uang ke pengemis, ternyata niat yang baik (lihat no 1 di atas) saja tidak cukup. Mengingat pelaksanaan pemberian uang ke pengemis bisa menimbulkan kesia-siaan karena salah sasaran (lihat no 2 di atas) dan mengingat juga akibat jangka panjangnya yang buruk (lihat no 3 di atas) beberapa pemerintah daerah seperti DKI Jakarta, Kotamadya Bandung dan lain-lain mengeluarkan peraturan yang melarang pemberian uang kepada pengemis.
DKI Jakarta mempunyai Perda Nomor 8 tahun 2007 tentang Ketertiban Umum pasal 40 c yang menyebutkan bahwa setiap orang atau badan dilarang memberikan sejumlah uang atau barang kepada pengemis, pengamen dan pengelap mobil. Pelanggar pasal tersebut dapat dikenai ancaman pidana kurungan paling singkat 10 hari dan paling lama 60 hari atau denda paling sedikit Rp 100 ribu dan paling banyak Rp 20 juta.
Bagaimana dengan BLT?
Pasal 34 UUD 1945 menyatakan pada ayat (1) Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara dan ayat (2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
Pasal 34 UUD 1945 tersebut meminta pemerintah mengadakan sistem jaminan sosial yang berlaku sepanjang masa selama negara RI berdiri, tidak sewaktu-waktu seperti halnya BLT yang diberikan hanya saat terjadi kebijakan kenaikan harga BBM. Sistem yang dikembangkan tersebut juga harus memberdayakan masyarakat dalam arti merubah dari tidak berdaya menjadi berdaya secara sosial (dan ekonomi).
BLT mempunyai niat yang baik. Tetapi niat yang baik seperti halnya pemberian uang ke pengemis seharusnya juga tidak cukup. Harus juga dilihat pelaksanaan pemberian dan akibat pemberian dalam jangka panjang. Dilihat dari pelaksanaannya, kesia-siaan karena salah sasaran juga dapat terjadi seperti halnya pemberian sedekah kepada pengemis. Begitu juga jika dilihat dari akibat jangka panjangnya yang buruk, tidak jauh berbeda dengan pemberian uang kepada pengemis. BLT tidak merubah orang menjadi berdaya setelah lepas dari bantuan seperti halnya yang diminta dalam Pasal 34 ayat (2) UUD 1945. Dengan demikian apakah sebaiknya BLT juga dilarang?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H