Mohon tunggu...
Deni Priandono
Deni Priandono Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Daripada BLT, Lebih Baik Pajak BBM

9 Maret 2012   02:57 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:20 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

BBM Bersubsidi lebih banyak dinikmati oleh orang kaya! Itu pernyataan yang sering kita dengar akhir-akhir ini seiring dengan niat pemerintah untuk mengurangi subsidi BBM yang nilainya semakin meningkat di anggaran pemerintah.  Pernyataan yang cukup beralasan karena BBM memang banyak dikomsumsi oleh kendaraan roda empat ke atas yang pemiliknya bisa digolongkan sebagai orang dengan kondisi ekonomi berkecukupan atau orang kaya.

Menaikan harga BBM kemudian diartikan mengambil haknya orang miskin yang selama ini dinikmati oleh orang kaya. Dan itu dipertegas dengan menyalurkan sebagian dana hasil menaikan harga BBM ke orang miskin dalam bentuk dana bantuan langsung tunai (BLT) untuk si miskin.

Benarkah demikian dalam kenyataannya? Ternyata masalahnya tidak sesederhana itu. Kenaikan harga BBM memicu kenaikan harga di mana-mana atau disebut inflasi. Bank Indonesia sendiri memperkirakan inflasi bisa mencapai 7% dalam tahun ini. Inflasi atau bisa juga dilihat sebagai penurunan daya beli tidak hanya mempengaruhi si orang kaya yang menjadi sasaran kenaikan harga BBM, tetapi juga si orang miskin yang dibantu. Kenyataanya bahkan dampak inflasi ini lebih terasa pada si miskin daripada si kaya karena harga-harga yang naik umumnya adalah kebutuhan primer seperti sandang, pangan, dan papan. Porsi pengeluaran kebutuhan primer si kaya dari pendapatannya jauh lebih sedikit dari porsi pengeluaran si miskin dari total pendapatannya.

Pengeluaran yang meningkat dari si miskin coba ditutupi oleh pemerintah dengan BLT. Tetapi solusi BLT itu hanya seperti obat untuk mengatasi rasa nyeri. Pengaruh obat hilang maka nyeri akan terasa. BLT bukan obat untuk menyembuhkan luka. Setelah 9 bulan penyalurannya, maka BLT dihentikan dan saat itulah si miskin merasakan bahwa pendapatannya tidak mencukupi untuk mengimbangi kenaikan harga.

Kenaikan harga-harga itu terjadi karena meski banyak pengguna BBM adalah orang kaya, kenyataannya penduduk miskin banyak juga tergantung pada harga BBM. Ketergantungan tidak dalam kepemilikan mobil, tetapi ketergantungan pada kendaraan umum untuk penumpang dan barang yang tentu saja masih menggunakan BBM bersubsidi.

Mengintat kondisi di atas, kebijakan mengurangi subsidi BBM dengan cara menaikan harga BBM dengan asumsi si kaya yang banyak menikmati subsidi itu, merupakan kebijakan  yang tidak tepat. Dengan kata lain, si miskin lah yang lebih menderita dengan mengambil subsidi BBM dari si kaya dengan menaikan harga BBM.

Harus diambil solusi atau pemecahan masalah dengan cara yang lain. Salah satunya adalah dengan menerapkan pajak tambahan untuk kendaraan roda empat yang tidak sepatutnya menerima subsidi BBM. Untuk kendaraan umum di mana masyarakat bawah banyak tergantung, tidak perlu dikenakan pajak seperti ini. Dengan demikian pengenaan biaya tambahan untuk menutupi subsidi di anggaran pemerintah akan lebih tepat sasaran.

Seberapa besar pajak tambahan ini? Mari kita sedikit berhitung. Jika pemerintah berniat menaikan harga BBM sebesar Rp. 1500/liter maka kita gunakan ini sebagai patokan selisih harga yang harus dibayar pemilik  kendaraan roda empat dalam bentuk pajak.

Dalam sehari diasumsikan setiap kendaraan roda empat menggunakan 10 liter premium. Maka pajak rata-rata yang dikenakan adalah Rp. 1500,- x 10 liter/hari x 30 hari = Rp. 450.000,- per bulan atau Rp. 5,4 juta setahun. Karena ini berlaku pada semua kendaraan roda empat, maka pengguna pertamax juga harus mendapatkan subsidi  sebesar Rp 1500/liter yang berarti harga pertamax = harga tanpa subsidi – Rp 1500.

Jika pada tahun 2010 kendaraan di Indonesia diperkirakan 50 juta buah dengan sekitar 60% kendaraan roda. Maka kendaraan yang bisa dikenakan pajak BBM diperkirakan adalah sekitar 20 juta buah. Dan jika 50%nya layak dikenakan kebijakan pajak BBM maka pemerintah akan mendapatkan pemasukan 20 juta x 50% x Rp. 5,4 juta per tahun atau Rp. 54 trilyun. Cukup untuk menutupi target penurunan subsidi.

Dengan pengenaan pajak BBM ini tentu lebih terasa adil bagi si miskin dan si kaya. Program BLT hanya menjangkau sebagian si miskin dan dengan jangka waktu terbatas. Sedangkan pajak BBM bagi pemilik kendaraan roda empat yang kaya tentu bukan masalah. Mungkin pajaknya bisa disesuaikan lagi dengan nilai kendaraannya sehingga bisa lebih mencerminkan rasa keadilan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun