"Olahraga boleh, tapi jangan jadi atlet ya!"
Begitu kira-kira kalimat yang Asep lontarkan saat membahas rutinitas olahraga kami. Ia mengutip wejangan ibunya yang tidak ingin sang anak terjun ke dunia atlet.
Asep memiliki tubuh yang sehat, bugar, dan atletis. Semua itu berkat kegemarannya berolahraga di gym dan beberapa tahun mengikuti perguruan beladiri.
Kondisinya yang prima itu juga yang menjadi landasan saya untuk memilihnya ikut petualangan seminggu di daerah Karangbolong, Kebumen, Jawa Tengah. Saya mendapatkan tugas pemetaan geologi di daerah tersebut dan butuh "asisten" agar tidak krik-krik sendirian di lapangan.
Kembali ke persoalan olahraga tadi. Asep menambahkan, ibunya berpesan agar ia tidak terlalu larut dalam persaingan olahraga dan menjadi atlet karena tidak ada kepastian bisa hidup dari sana.
Pikiran saya agak sedikit terganggung setelah percakapan tersebut. Saat itu, adalah seorang atlet. Saya tengah mempersiapkan diri sebagai perwakilan Undip dalam sebuah kejuaraan nasional pencak silat yang akan digelar beberapa bulan ke depan.
"Apakah saya sudah terlalu larut dalam kegemaran olahraga saya sendiri?" begitu pikir saya.
Akan tetapi, saya cepat-cepat menepis pikiran tersebut dan menyuntikkan kembali pikiran positif ke dalam kepala. Saya memang berniat melakukan hal terbaik yang saya bisa, apapun risiko yang kelak akan saya terima nantinya.
***
Pemberitaan soal prestasi atlet-atlet rutin menghiasi media. Mereka diberitakan memperoleh prestasi tertinggi di bidang yang digelutinya, bergelimang harta, dan tak ketinggalan mendapatkan bonus dari pejabat negara.