“Fun Fact: Tambora juga merupakan nama kelompok saya saat OSPEK dulu”
Sebuah gunungapi yang berdiri tegak di utara Pulau Sumbawa rupanya bukan cuma ornamen penghias lukisan alam. Kalderanya yang membentang sejauh sekitar 7 kilometer merupakan saksi bisu peristiwa menggemparkan dua abad lalu. Tepat hari ini di tanggal yang sama tahun 1815, Tambora mengamuk sejadi-jadinya, menghancurkan sepertiga tubuhnya yang menjulang tinggi ke angkasa.
Tambora adalah bagian dari 800 lebih gunungapi aktif di Cincin Api Pasifik yang membentang, dari Indonesia, Filipina, Jepang, hingga Amerika Selatan. Gunungapi bertipe stratovolcano ini telah aktif sejak 690.000 tahun lalu, diketahui dari hasil perkiraan umur aliran lava tertuanya. Peleburan lempeng bumi di kedalaman 70 – 100 kilometer terus menyuplai magma sehingga Tambora terus membangun diri hingga 4000 meter di atas permukaan laut. Karakteristik letusan yang lebih eksplosif menjadi lebih dominan sejak 100.000 tahun lalu.
Letusan dahsyat 1815 terjadi pada malam hari. Suara letusan terdengar hingga Makassar, Jakarta, Ternate, bahkan Bengkulu. Owen Phillips, seorang letnan di kapal MV Benares milik British East India Company menyangka dentuman keras tersebut berasal dari meriam dikejauhan. Sir Thomas Stamford Raffles pun berpikir demikian sebelum akhirnya laporan datang dari kunjungan Phillips ke Bima seminggu setelah letusan 10 April.
Phillips mendapatkan informasi dari sejumlah penduduk lokal yang selamat, termasuk raja Kerajaan Sanggar dan keluarganya. Kerajaan Sanggar bersama dengan Kerajaan Tambora dan Pekat merupakan tiga kerjaan yang terletak di sekitar Gunung Tambora. Ketiganya hancur dalam semalam akibat aliran piroklastik panas yang bergerak cepat menuruni lereng. Beberapa sakti mata menyebutkan kemunculan tiga “pilar api” yang diperkirakan membumbung hingga 34 kilometer.
Letusan 1815 dinobatkan sebagai letusan dengan dampak langsung paling mematikan sepanjang sejarah manusia. Kematian hampir 100.000 orang akibat dampak langsung tersebut diperparah dengan dampak sekunder yang tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga ke seluruh dunia.
Jatuhan abu vulkanik ke beberapa daerah seperti Bali, Lombok, dan Jawa Timur menyebabkan gagal panen dan kelaparan. Gas yang dilepaskan ke udara mengurangi jumlah panas yang melewati stratosfer dari matahari. Suhu yang lebih dingin menyebabkan krisis pangan di Eropa dan Amerika Serikat. Selain itu kondisi iklim yang berubah menyebabkan wabah kolera menyebar dari Teluk Benggala ke seluruh dunia. Pasukan Napoleon mengalami kesulitan dalam mobilisasi personel dan senjata berat karena cuaca musim panas yang mestinya cerah tidak pernah datang di tahun itu.
Meski begitu, di sisi lain bencana hebat yang diakibatkan letusan Tambora rupanya juga menjadi inspirasi karya bagi sebagian orang. Mary Shelley selama berdiam diri di rumah akibat cuaca yang buruk melahirkan Frankenstein, salah satu novel horor yang paling terkenal saat ini. Selain itu, di saat yang sama John William Polidori menulis cerita The Vampyre.
Gunung Tambora menyimpan sejarah yang sangat menarik untuk dipelajari. Beberapa penelitian telah dilakukan di sana, mulai dari geologi, vulkanologi, hingga arkeologi. Sejarah geologi yang unik, terkuburnya jejak kebudayaan setempat, serta kekayaan flora dan fauna merupakan ramuan yang pas untuk memberikan titel geopark nasional kepada Gunung Tambora. Bahkan rencananya Tambora akan segera diresmikan menjadi UNESCO Global Geopark (UGG).
Seiring dengan pamornya sebagai geopark yang semakin melejit, Tambora kini menjadi salah satu destinasi wisata terbaik di Sumbawa. Beberapa geosite disiapkan pengelola untuk memberikan edukasi sekaligus hiburan yang menarik bagi pengunjung. Kita dapat menjelajahi lereng Tambora dan menapaki kaldera hasil letusan 1815, mengunjungi Tebing Breksi Sarae Nduha, mempelajari sisa-sisa kebudayaan masyarakat lereng Tambora di Museum Sanggar, dan banyak lagi.