“Sekali-sekali saya juga ingin membagikan pengalaman pribadi tentang beberapa peristiwa yang saya alami”
Saya ingat betul, waktu itu saat duduk di bangku sekolah dasar. Televisi 21 inci di rumah seketika menayangkan iklan layanan masyarakat dengan tema “Suami Siaga”. Tampak seorang pria berperan sebagai suami mengantarkan istrinya ke tempat persalinan (entah bidan atau rumah sakit) dengan menumpang becak. Saya yang baligh pun belum hanya menganggap tayangan tersebut angin lalu. Tidak terbayang bahwa suatu hari sang Suami Siaga adalah saya sendiri.
Selama kehamilan pertama istri, menjadi Suami Siaga kelihatannya tidak terlalu sulit, pikir saya. Rutinitas hanya berada di seputar mengantar istri periksa ke dokter, memenuhi kebutuhan nutrisi ibu hamil, belanja kebutuhan bayi, dan belajar serba-serbi parenting. Namun rupanya anggapan itu berakhir ketika pandemi Covid-19 melanda hingga akhirnya bersinggungan dengan bulan Ramadhan. Saya pun mengalami beberapa tantangan dalam menjalankan peran sebagai Suami Siaga.
Mobilitas Terbatas
Menurut Community Mobility Report Google yang terkahir diperbaharui pada 23 April 2020, terjadi penurunan tingkat mobilitas masyarakat yang cukup signifikan selama masa pandemi Covid-19 berlangsung. Tingkat penurunan paling tinggi dialami sektor transportasi publik sebanyak 58%. Sejalan dengan penurunan aktivitas di luar rumah, mobilitas masyarakat di sekitar lingkungan rumah bertambah sebanyak 18%.
Pembatasan Pasien
Dokter yang menangani istri saya membuka tempat praktek di sekitar salah satu rumah sakit besar di Kuningan. Pada kondisi normal pasien dengan keluhan ataupun tidak diterima pada jam praktek. Akan tetapi, kondisi tersebut berubah saat belakangan tersiar berita salah satu pasien positif Covid-19 dirawat di rumah sakit tersebut.
Klinik melakukan tindakan untuk mengantisipasi penyebaran Covid-19 dengan membatasi jumlah pasien. Pasien tanpa keluhan tidak diperkenankan memeriksakan diri. Istri dan bayi dalam kandungan memang tidak memiliki keluhan apapun sehingga kami harus mengurungkan niat bertemu dokter sore itu. Satu-satunya alternatif yang tersisa adalah bidan desa.
Belanja Kebutuhan
Karantina wilayah parsial yang diberlakukan pemerintah Kabupaten Kuningan di beberapa ruas jalan utama membuat banyak komplek pertokoan tutup lebih awal. Hal tersebut menyebabkan kegiatan belanja kebutuhan ibu hamil dan bayi menjadi lebih sulit. Entah bagaimana jadinya jika sampai karantina wilayah parsial diperluas atau diberlakukan PSBB di Kuningan. Untungnya beberapa kebutuhan penting tersedia di rumah sehingga tidak banyak yang mesti dibeli di luar sana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H